Selasa, 11 Maret 2008


Read More......

Read More......

Minggu, 09 Maret 2008

Dua Kawan, Dua Andre, dan Dua Novel

Ruangan berukuran 3x4 meter. Ada dua buah ranjang di situ. Di antaranya, terletak sebuah rak meja berposisi melintang. Di sisi lainnya, terdapat sebuah lemari yang bersebelahan dengan sebuah rak meja pula. Tepat di atas keduanya, tergantung sebuah televisi berwarna ukuran 14 inch pada sebuah rangka berbentuk kotak. Adegan yang ditampilkan saat itu sebenarnya tegang, kejar-kejaran dengan sosok hewan purbakala. Namun, celoteh yang dilontarkan oleh salah seorang tokoh mencairkan suasana, lumer sepenuhnya. Ruangan terasa segar, meskipun itu adalah bilik di rumah sakit Universitas Islam Malang – yang populer disingkat dengan Unisma, saja. Seorang kawan sekaligus sahabat saya dirawat di sana, mulai hari Sabtu, tanggal 1 Maret 2008 silam.


Hendarmawan, namanya. Singkat. Profilnya yang menggugah semangat pernah kami tampilkan pada media bernama Mimbar, edisi Desember 2007 yang beredar sebulan kemudian. Kami mulai berkenalan ketika dia sering singgah di Humas lalu bercerita tentang aktivitasnya yang membuatku terperangah, tak percaya. Bayangkan, hampir saban minggu dia bercerita tentang prestasinya yang luar biasa. Kerap membuatku iri oleh keberuntungannya, bagaimana bisa dia memperoleh segala hal tersebut. Dulu, sewaktu kami belum begitu akrab, aku mengira dia jadi salah satu orang pintar yang susah diakrabi. Maklum, biasanya orang pintar seperti itu. Namun, seiring berlalunya waktu, ternyata ia mudah juga diajak bertukar pikiran, bercerita tentang hobi, minat, dan lain-lain.

Tapi, susah juga mengajak dia untuk jalan-jalan. Harus bikin janji dari sebulan sebelumnya. Aktivitasnya yang padat setiap harinya membuat komunikasi kami sering melalui e-mail, yahoo messenger. Hanya sekadar menyapa atau saling memberi semangat pada skripsi kami masing-masing. Tapi, seringnya saya yang bertanya pada dirinya, biasanya berhubungan dengan teknologi informasi. Maklum, saya terbilang masih harus belajar banyak soal ini, kalau tidak mau dibilang gaptek. Hehe. Dan, Hendarmawan dengan sabar memberikan jawaban dengan baik dan benar. Saya merasa dia lebih dari sekadar kawan bagi saya sendiri. Hanya dalam tempo kurang dari tiga bulan, kami sudah benar-benar akrab.

Terlebih ketika hari Sabtu lalu, saya menerima sms dari dirinya, mengabarkan sedang tergeletak di rumah sakit karena menderita penyakit DBD [Demam Berdarah Dengue] akut. Dia harus diopname. Saya kaget. Pesan pendek itu saya terima sore hari, sekitar pukul 14.30 WIB. Padahal usai maghrib seperti biasanya saya harus berlatih nasyid bersama teman-teman, Ryan, Amy, serta Sandy. Ragu-ragu, saya ingin menjenguk dia terlebih dahulu, kemudian baru berlatih. Sayang sekali, motor Ryan yang biasa kutumpangi rusak. Dia bersama kawannya, Dinu. Akhirnya kami latihan dulu. Amy tidak hadir karena menjadi pemateri pada acara himpunannya di Batu. Kami hanya latihan bertiga plus Dinu yang bertugas sebagai gitaris, pemberi suara background untuk mempercantik penampilan kami.

Sekitar jam 9 malam, latihan dibubarkan. Sandy dengan penuh perhatian bersedia mengantarkanku ke rumah sakit setelah sebelumnya kami membeli beberapa bungkus makanan. Aku sempat masuk ruangan 2B yang ditunjukkan Hendarmawan. Ternyata salah. Mulai dari resepsionist serta keluarga pasien menyatakan tidak ada. Saya lalu bingung, bagaimana bila benar-benar tidak ada? Apakah saya harus kembali lagi, pulang? Apakah dia sudah dijinkan pulang? Saya diberitahu seorang perawat yang bertugas. Dia menunjukkan bilik IIA. Kok di-sms yang saya terima, dikatakannya dengan 2B? Saya langsung menduga Hendarmawan salah ketik. Di sana, sudah ada dirinya yang terbaring di atas ranjang beserta satu sosok yang sudah tidak bisa dipungkiri keberadaannya di kancah penulisan karya tulis ilmiah tingkat Unibraw, Slamet Budi Cahyono.

Anaknya ramah, terbuka, suka berbincang dan berdiskusi, serta tertarik sekali dengan apapun yang berbau entrepreneurship. Kami bertiga segera terlibat obrolan seru. Terutama mengomentari film action yang lebih banyak lucunya daripada ketegangan yang ditampilkan. Malah cenderung konyol. Film ini disponsori oleh salah satu merk shampoo ternama di kalangan konsumen dunia, Head and Shoulders. Aneh sekali teknik marketingnya. Jadi ingat dengan film-film Indonesia yang sponsornya bertebaran di properti scene. Ketika si aktor berjalan, dia lewat di bawah balihonya produk rokok, ketika si aktrisnya berkencan mesra, dia ditemani oleh minuman produk sponsor, dan banyak sekali lainnya. Terkadang jadi heran, dimanakah independensi film sendiri? Apakah keberadaan sponsor yang terlampau kentara, bukannya malah memperjelek image film sendiri? Terkesan dipaksakan? Namun, jangan lupa. Produk seringkali membantu memperkuat image tokoh sendiri. Ingat kan video klipnya Krisdayanti, I’m Sorry Goodbye yang sekaligus iklan PAC Martha Tilaar atau konser Keajaiban Cinta-nya Memes yang identik dengan Miracle, produk Pond’s baru yang diiklankannya juga? Keterkaitan ini terkadang memang asyik dinikmati, tapi kebanyakan jadi aneh, malah terkesan ngawur. Tidak pada tempatnya. Saya tetap tak habis pikir, bagaimana Krisdayanti yang harusnya berakting sedih malah bergaya seperti model iklan di lagunya itu? Ah, harusnya ada sesi khusus membicarakan keterkaitan antara iklan, sang bintang, serta pesan yang terkandung.

Kembali pada Hendarmawan dan Slamet Budi Cahyono. Ada persamaan maupun perbedaan di antara keduanya. Persamaannya, keduanya sama-sama pernah masuk pada profil tabloid Mimbar sebagai mahasiswa berprestasi. Keduanya, orang yang luar biasa, berangkat dari keluarga sederhana dan dengan tekad serta semangat mampu tampil sebagai mahasiswa cemerlang. Mereka pekerja keras, tahu betul bagaimana memanfaatkan potensinya. Sesuatu yang tidak begitu saja dimiliki oleh orang kebanyakan. Mereka juga orang yang ramah, rendah hati, tidak merasa hebat atas segudang prestasi yang telah diraih. Terkadang, banyak orang hebat yang terlena oleh kepandaiannya sehingga lupa diri, terjebak, akhirnya stagnan, tidak mampu lagi mengembangkan diri. Mereka orang yang selalu penasaran, ingin tahu, berusaha meraih segala sesuatu lebih tinggi dan tinggi. Setidaknya mencoba dulu, hasilnya terserah Yang Di Atas. Mereka juga orang-orang yang menyenangkan, asyik diajak mengobrol, serta berdiskusi tentang segala hal.

Bedanya, Hendarmawan ahli dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan IT alias Information Technology. Maklum, dia lulusan Ilkom [Ilmu Komputer]. Banyak sudah proyek yang ditanganinya. Termasuk juga ISHARP [Internet for Senior High School Student Ambassador Development Program] yakni suatu program yang ditujukan untuk meminimalisir bahkan mencegah kejahatan cyber [cybercrime] untuk siswa-siswa SMA di Indonesia serta menghasilkan beberapa proyek. Kini dia berkantor di Jakarta dalam rangka mengembangkan proyeknya ini. Bulan lalu, dia mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Masalah akademis, dia pernah dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi Unibraw, Sampoerna Best Student, IT Award, dan sebagainya. Anaknya ramah, awalnya cukup pendiam, dan suka sekali mentraktir. Setiap jalan dengannya selalu tidak enak, tiba-tiba sudah dibayari. Dia senang dengan novel sastra, misalnya Ayat-Ayat Cinta. Kami hampir janjian untuk menonton bareng filmnya, namun hingga kini belum juga terlaksana. Ya, dia masih sakit. Saya harus maklum itu.

Slamet Budi Cahyono, panggilannya Budi. Dia periang, supel, dan energik. Setiap dekat dengannya, saya merasakan energi berlimpah ruah yang terpancar. Dia semangat sekali berbicara tentang entrepreneurship. Harapannya saat ini hanya satu. Dia ingin mengembangkan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, almamaternya menjadi disegani, sejajar dengan Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. Stereotype yang muncul saat ini memang terkesan fakultas berbasis agrokompleks cenderung dipandang sebelah mata, remeh. Maka, Budi yang gencar dengan tulisan-tulisan karya ilmiahnya mendobrak stereotype itu. Dia tercatat sebagai wakil Unibraw dalam pentas Pelayaran Kebangsaan beberapa waktu lalu. Dia juga turut aktif mengembangkan Inkubator Bisnis, wadah untuk mahasiswa maupun UKM dalam mengembangkan produk-produknya. Buah penanya banyak menggondol prestasi jawara, semisal lomba essay nasional, PKM, serta kompetisi lainnya. Budi sosok yang sangat menyenangkan. Kami pernah mengobrol hingga pukul 2.30 WIB dini hari membicarakan tentang harapannya, keluarganya yang membuatku trenyuh, tekadnya yang kuat untuk senantiasa meraih prestasi serta kisah cintanya yang mengharu biru. Ditemani segelas kopi susu serta wedang jahe, obrolan itu hanya diputus oleh tidur dua jam saja plus Sholat Shubuh dan kembali lagi bersua dalam jalan-jalan sehat. Haha, paginya kami kembali mengobrol dan saya banyak belajar darinya, bagaimana memperjuangkan harapannya. Dalam hati, suatu waktu saya ingin berkolaborasi dengannya dalam hal penulisan, mungkin buku ilmiah populer.

Keduanya menjadi orang yang dekat dengan saya, kemudian. Dua kawan yang mengisi kehidupan saya menjadi lebih hidup. Mereka mampu menyuntikkan semangat baru, sesuatu yang langka dalam kehidupan saya beberapa bulan sebelumnya. Pada waktu itu, saya cukup terkungkung oleh aktivitas saya yang berkutat dari skripsi, penelitian, dan dosen. Sesuatu yang membelenggu. Saya merasakan tekanan yang luar biasa. Belum lagi dari keluarga. Untunglah, kegiatan saya di Humas cukup membantu. Saya menemukan gairah kembali. Terlebih ketika berkenalan dengan Hendarmawan maupun Budi. Kemungkinan-kemungkinan lainnya seolah terbentang lebar. Memang benar, ketika engkau ingin maju, berkumpullah dengan orang-orang yang memiliki kehendak untuk maju dan selalu berpikiran positif. Saya sangat menyadari hal itu. Seperti juga, saya yang sangat terinspirasi untuk selalu maju melalui bacaan novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, serta Edensor yang memukau. Ada nama Andrea Hirata sebagai penulisnya.

Membaca Laskar Pelangi, seperti menemukan kepingan diri saya ketika masih duduk di bangku SD. Bagaimana bermain bersama dengan penuh suka cita bersama kawan, berkotor-kotor di atas rumput, main rumah dari tanah, menyusuri lereng sungai yang airnya kering saat kemarau menyengat demi menemukan sepotong ubi jalar untuk dimakan bersama, main kasti, bermain kartu dan kelereng, petak umpet, berakting ala pahlawan dan musuhnya, monopoli, gamewatch, berkreasi dalam membuat mainan berupa perahu dari sandal jepit, bereksperimen membuat tape dari singkong, hujan-hujanan, bahkan mandi di sungai hingga nyaris terseret arus. Seluruhnya begitu jelas terbayang. Tak lupa, soal prestasi yang tercatat manis dalam piala yang kini terduduk lesu di atas buffet. Dua piala yang cukup membuat haru karena diraih dengan susah payah, namun cukup menyenangkan. Laskar Pelangi membuatku cinta untuk kembali bersekolah, menuntut ilmu kembali karena masih banyak yang belum kumengerti sepenuhnya. Teori-teori Fisika yang rumit menyibak misteri pengetahuan, rumus Kimia, tabel periodik Mendeleyev, Trias Politika Montesqieu, Adam Smith, Coppernicus, Newton, Thomas Friedman, hingga sastra-sastra macam NH Dini yang memukauku, Hamka, Budi Darma dengan novelnya Olenka yang menggelegar, Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, John Steinback, Harper Lee, hingga Truman Capote, Jostein Gaarder, dan Paulo Coelho yang menginspirasi. Laskar Pelangi membantuku berefleksi sebagaimana manusia yang sadar akan pendidikannya dan pengetahuannya yang terbatas hingga harus terus menerus senantiasa belajar.

Sang Pemimpi juga tak kalah seru. Ia bercerita bagaimana seseorang harus meraih harapannya, biarpun dalam kondisi paling terpuruk sekalipun. Karena itulah satu-satunya yang dimiliki manusia. Jika ia hilang, lenyaplah pula manusia itu. Sedangkan, Edensor membuaiku dalam diksi yang menggoda, susunan kata runut yang diberi sentuhan emosional. Cerita yang penuh dengan imaji, bagiku. Namun, tetap menelisik kemungkinan-kemungkinan sisi jiwaku agar mampu menggapai sebagaimana Andrea meraihnya. Ah, ia manusia yang luar biasa. Sebagaimana Hendarmawan dan Budi yang tak berhenti mengarungi kehidupan alam raya yang telah dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Dalam waktu tiga bulan ini, Andrea telah menjadi sosok idolaku sepenuhnya, selain sosok yang memberiku pencerahan bagaimana menulis yang enak itu sesungguhnya. Nah, dia berada pada urutan pertama untuk kategori jurnalis yang kujadikan anutan. Namanya elegan, Andreas Harsono. Entah mengapa, dua nama yang mirip ini jadi idolaku, Andrea dan Andreas. Sama-sama pintar juga menulis. Sama-sama orang dengan prestasi luar biasa. Sama-sama rendah hati, selalu belajar dari pengalaman untuk jadi lebih baik. Dan, sama-sama sempat menempuh pendidikan di luar negeri.

Bedanya, Andrea karyawan PT Telkom Bandung dan mengabdikan sepenuhnya pada dunia teknologi informasi. Lagi-lagi mirip dengan latar belakang kawan saya, Hendarmawan. Sedangkan, Andreas mengabdikan sepenuhnya pada perkembangan jurnalistik Indonesia dengan mendirikan Yayasan Pantau dan Institut Arus Studi Informasi [ISAI] bersama dengan Goenawan Mohammad dan kawan-kawan. Andreas, jurnalis beraliran sastrawi yang enak dibaca. Salah satu jurnalis yang mendapatkan beasiswa dari Nieman Fellowship di Amerika Serikat. Pernah bekerja di koran The Jakarta Post serta wartawan lepas di Bangkok, Thailand. Tulisannya yang sangat kusukai adalah ”Republik Indonesia Kilometer Nol” serta ”Dari Thames Ke Ciliwung” yang memenangkan banyak penghargaan internasional untuk kategori liputan investigatif mengenai privatisasi air minum di Jakarta oleh perusahaan dari Thames, Inggris.

Bagaimana saya mulai mengenal Andreas Harsono? Pada tahun 2006 silam, sekitar bulan September – Oktober, saya berkesempatan mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut yang diselenggarakan di Universitas Syarif Hidayatullah, Tangerang. Saya datang pada hari kedua, sehingga baru bisa mengikuti materi hari ketiga dari lima hari jadwal yang ditetapkan. Konsekuensinya, saya tidak mendapatkan fasilitas seistimewa kawan-kawan peserta yang lain, berupa penginapan serta makan nasi kotak. Saya menginap di rumah panitia. Enaknya, saya hanya membayar separuh dan tidak mendapatkan sertifikat. Tapi, pada akhirnya saya dapat juga setelah merayu ketua panitia. Pemateri yang hadir antara lain Bambang Harimurti, Pimpinan Redaksi Tempo serta Anugerah Perkasa, wartawan freelance yang punya background ekonomi bisnis. Satu lagi, Budi Setiono, jurnalis dari Pantau. Nama yang terakhir ini cukup familiar dengan sebutan singkat Buset. Kami pernah bertemu sebelumnya di Universitas Udayana, Bali dalam rangka pelatihan jurnalistik pula pada tahun yang sama, bulan Juni. Dia bersama dengan Amarzan Lubis, Redaktur Senior Tempo hadir sebagai pemateri. Ketika kami bersua kembali, dia sempat heran. Namun, perjumpaan kami tidak begitu intens, hanya mengobrol seperlunya. Saya masih merasa canggung dan memang waktu itu saya terbentur masalah dengan panitia. Seusai pelatihan, saya mendapatkan bingkisan berupa materi pelatihan dalam bentuk hardcopy serta satu buah majalah Pantau yang cukup langka di pasaran. Saya merasa beruntung memperolehnya.

Majalah edisi Desember 2003 itu didesain cukup unik. Cover depannya ada dua lapis. Lapis pertama dipotong separuh dan melebur dengan cover lapis kedua yang utuh. Ada pelbagai artikel yang ditulis dengan bahasa mengalir, mudah dicerna, tapi cukup berbobot. Antara lain, karya Andreas Harsono berjudul “Republik Indonesia Kilometer Nol”, “Emak” karya Daoed Joesoef, “Dalam Debat dan Lebatnya Syariah” oleh Anugerah Perkasa, serta “Muhammadiyah dan Seni Tradisional” yang ditulis A Bakti Tejamulya. Tulisannya panjang-panjang, bisa jadi lebih dari sepuluh ribu kata atau bahkan sekitar dua puluh ribu kata. Jika tidak suka membaca, bisa jadi majalah ini hanya akan sekadar penghias atau ditumpuk sembarangan sebagai pelengkap properti. Saya penasaran. Saya tertarik dengan artikel “Emak” yang ternyata bagus sekali, cukup menginspirasi. Saya belum tertarik dengan tulisan Andreas Harsono sebab padat dengan intrik politik dan kasus yang rumit. Pada medio 2007, seiring penelitian skripsi, saya getol mencari-cari literatur yang berhubungan dengan jurnalistik. Khususnya beraroma investigatif. Bagi saya cukup menantang. Saya menyesal, mengapa baru tertarik akhir-akhir ini. Usai menggarap skripsi yang berdampak penuhnya kamar saya dengan referensi, baik yang berhubungan dengan disiplin ilmu saya, teknologi pangan, juga koran, jurnal ilmiah, juga jurnalistik, saya rehat sementara. Artinya, fokus pada penjilidan skripsi serta pendaftaran tetek bengek kelulusan.

Mendekati penghujung tahun 2007, saya diminta serius untuk membantu pengerjaan tabloid Mimbar serta Prasetya Online sebagai staf redaksi. Artinya, saya harus intens di Humas Universitas Brawijaya. Di sana, saya kembali menyelami tentang jurnalistik. Menggali bahan-bahan yang berkaitan dengan hal tersebut, termasuk browsing artikel dari Pantau. Dari situlah saya mulai mengenal sosok Andreas Harsono, Budi Setiono, Anugerah Perkasa, Agus Sopian, Linda Christianty, dan lain-lain. Mereka jurnalis yang sarat dengan prestasi. Dari blogger, saya tahu Andreas ternyata berdarah Cina, punya nama leluhur yang membuatnya berganti dengan nama pribumi. Latar belakangnya cukup kompleks, baik tempat tinggal yang berganti-ganti, juga persentuhannya dengan pelbagai agama. Ia akhirnya menasbihkan beragama jurnalistik sebab darah, hidup, dan jiwanya dipersembahkan untuk dunia itu. Ia berkonflik dengan istri pertamanya, mencintai anak lelaki satu-satunya, Norman, serta menjalin hubungan dengan wanita yang juga menyukai jurnalistik, Sapariah. Andreas banyak menulis tentang nasionalisme, situasi politik, pergulatan pemikirannya, aktivitasnya sebagai pembicara yang cukup padat, serta kesibukannya yang terentang antara keluarga dan profesinya. Ia juga sedang mempersiapkan buku berjudul From Sabang to Merauke : Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Pembuatan bukunya tak main-main. Ia harus melakukan observasi di lebih dari delapan puluh lokasi seperti Pulau Miangas dan Pulau Ndana.

Dua sosok, Andrea Hirata dan Andreas Harsono memberikan inspirasi bagiku, dalam bidang penulisan. Satu lagi bedanya. Melalui Hirata, saya bersemangat untuk menulis novel yang sempat terbengkalai. Melalui Harsono, saya bergairah untuk menyusun buku tentang jurnalistik. Saya harus serius dengan penyusunan ini. Sebab saya tidak mau hasil karya yang telah jadi, hanya dianggap angin lalu belaka. Saya harus sungguh-sungguh agar novel maupun buku ilmiah digunakan masyarakat sebagai literatur. Saya tidak berharap muluk-muluk agar jadi novel bersejarah, seperti “In Cold Blood” karya Truman Capote yang gaungnya masih terdengar hingga kini. Begitu pula dengan “To Kill Mockingbird” dari Harper Lee, penulis wanita hebat yang meraih banyak penghargaan internasional. Saya hanya ingin agar bisa diterima oleh masyarakat. Sebenarnya, saya tahu kedua tokoh tersebut, tidak begitu lama. Baru sekitar tiga bulan belakangan ini saja. Aneh, bukan? Seluruh tokoh yang saya sebutkan di atas, saya kenal secara intens baru tiga bulan ini. Dan, semuanya menjadi inspirator.

Awal perkenalan saya dengan kedua penulis novel yang bersahabat akrab itu pada sebuah film berjudul ”Capote”. Pada tahun 2007 silam, Phillip Seymour Hoffman meraih Academy Award atas perannya sebagai aktor utama sebagai Capote. Aktingnya dalam film ini memang gemilang. Ia dituntut mampu berperan sebagaimana aksen yang biasa dibawakan Capote dalam kesehariannya. Dan, dengan hebatnya dia mampu melakoninya, bahkan dengan sentuhan emosional yang berjiwa. Gaya Capote yang egosentris di tengah pesta dan selalu jadi pusat perhatian berhasil dibidik nyaris tanpa cacat. Begitu pula geliat emosinya ketika mulai menulis karya ketiganya yang bercerita tentang pembunuhan keluarga Cluster, di desa Holcum, Kansas, pada pertengahan November 1959. Film ini secara dramatis mampu menampilkan efek kejut yang hebat. Banal sekaligus fenomenal. Dalam film itu, Capote punya seorang sahabat. Namanya Harper Lee. Ia senantiasa mengiringi kemanapun Capote melangkah. Mereka kawan serasi, saling berdiskusi dan memberikan masukan positif. Kelak, karya Harper Lee tak kalah fenomenal dari milik Capote. ”To Kill Mockingbird” mendapat pelbagai penghargaan internasional, banyak digunakan sebagai referensi oleh lebih dari 70 persen siswa-siswa sekolah di Amerika Serikat yang menekuni pelajaran sastra. Sedangkan, ”In Cold Blood” terpilih sebagai tulisan paling berpengaruh abad dua puluh oleh sebuah lembaga sastra. Hingga kini, karya Capote ini dijadikan contoh tulisan investigatif yang bermutu selain ”Hiroshima” karya John Hersey. Sayang, hingga kini saya belum mendapatkan kesempatan untuk membaca kedua karya luar biasa tersebut. Dua bulan lalu, saya lebih tertarik membeli ketiga karya Andrea Hirata dari seri tetralogi yang direncanakan, ”The Alchemist”-nya Pulo Coelho serta ”The Secret” tulisan Rhonda Byne yang tak kalah jadi best seller. Rencananya, jika sudah ada rezeki baru saya beli dan menikmati novel-novel tersebut.

Kedua novel tersebut ditulis oleh kedua penulis luar biasa yang berkawan akrab. Saya juga telah berkawan akrab dengan kedua sosok luar biasa, seperti Hendarmawan dan Slamet Budi Cahyono. Saya juga sangat terinspirasi oleh kedua tokoh bernama nyaris serupa, Andrea Hirata dan Andreas Harsono. Keenam sosok tersebut beserta karyanya masing-masing telah mendapat tempat bermakna dalam hati saya sebab begitu banyak yang bisa dipetik, amanat, misi, pengalaman, pengetahuan yang tak bisa saya temukan hanya oleh pengalaman diri pribadi. Ah, saya mungkin terlampau naif. Namun, entah mengapa mereka begitu menginspirasi saya. Bahkan, dalam hati suatu saat saya bisa seperti mereka dengan karya-karya yang fenomenal. Bukan dalam artian, populer dalam masyarakat belaka tanpa esensi apa-apa. Melainkan saya ingin menghasilkan sesuatu yang bermakna, bernilai, dan berdampak buat masyarakat luas secara positif serta bersifat konstruktif. Sungguh, harapan saya tidak muluk. Saya bersyukut diberikan kesempatan bertemu keenam sosok tersebut, mempelajari karyanya dengan sungguh-sungguh. Sebab, semuanya akan kembali berpulang pada saya pribadi. Apakah saya akan berusaha, bekerja keras agar menjadi seperti mereka, atau sebaliknya. Semuanya ada di tangan saya Ah, saya takut jika semangat ini hanya berhenti pada sebatas tulisan tanpa ada jiwa yang menyertai.



Regards,
Abhiem

Read More......

Asyiknya Bernasyid

Saya punya grup nasyid. Namanya Rasi Voice. Belakangan ini, kami yang terdiri dari empat personel, Ryan, Amy, Sandy dan saya sendiri, Bhima, mulai sering latihan bersama. Pasti ada yang mengira nama RASI diambil nama personelnya, tapi kok berbeda? Pada awalnya, grup yang terbentuk pada tahun 2004 silam, ini memang terdiri dari empat personel. Tiga nama yang sudah disebutkan pertama di atas serta satu orang teman saya, namanya Irfan. Yup, pas sekali disebut dengan RASI.



Pada latihan pertama, ada tiga orang yang kemudian diajak bergabung. Surya, Wahyu, dan saya sendiri. Kami bertujuh, kecuali Amy sempat masuk dalam Unitas Paduan Suara Mahasiswa Universitas Brawijaya. Dan, melalui unitas inilah kami semakin akrab dan dekat. Di penghujung 2004, kami sempat mengikuti kompetisi nasyid tingkat nasional yang diselenggarakan di Graha Medika. Menyanyikan lagu Ayah karya Suara Persaudaraan, penampilan kami yang berusaha optimal, tidak mampu menutupi rasa nervous. Alhasil kami hanya berhasil masuk tiga belas besar sebagai finalis saja.

Masuk tahun 2005, personel kami satu per satu mulai rontok. Pertama kali, Surya berkata terus terang ingin mengundurkan diri. Dalam sebuah sesi curhat yang dibuat dramatis, dia sempat mengaku risau dengan keputusannya karena sangat menyukai kami. Namun, dia memilih untuk fokus dengan kuliahnya. Bahkan, ia juga keluar dari PSM. Selanjutnya, Irfan. Bagi kami, dia begitu istimewa. Bukan karena sikapnya yang memuja ketampanannya sendiri alias narsis, melainkan karena suaranya yang empuk didengar. Kegandrungannya pada Aguilera, membuatnya mampu mengolah improvisasi suara nan meliuk-liuk. Saya seringkali mengagumi suaranya yang lembut ketika bernyanyi. Tapi, hampir tidak pernah berterus terang di hadapannya. Takut dia semakin besar kepala. Yang jelas, dia salah satu sahabat yang kutemukan melalui nasyid ini. Kelak, dia punya peran dalam mewarnai hari-hariku selanjutnya pasca keluar dari Rasi Voice.

Akhirnya, kami berlima yang melanjutkan latihan bersama. Sayang sekali, Wahyu tidak lagi bisa optimal. Banyak sekali yang dikeluhkannya, mulai dari merepotkan Ryan yang harus menjemputnya hingga sikapnya yang rendah diri, membuat kami akhirnya juga harus merelakan dia pergi. Sebenarnya, banyak sekali kisah-kisah mengenai dua orang sahabatku ini, Irfan dan Wahyu. Namun, karena terlampau banyak, perlu dijadikan satu tulisan tersendiri.

Pada tahun 2006, kami mendapat dua job untuk tampil, yakni di acara mahasiswa Sastra Jerman serta diklat jurusan Perencanaan Wilayah Kota di Singosari. Kami berempat berusaha tampil maksimal. Namun, entahlah. Kami memang sudah latihan. Namun, seringkali ketika unjuk gigi, kurang bisa optimal. Toh, para penonton sudah memberikan apresiasinya walaupun mereka juga sama-sama mahasiswa. Yang terpenting bagi kami, Rasi Voice harus tetap bisa eksis.

Selama tahun 2007, kami tidak pernah bertemu kembali. Masing-masing anak memiliki kesibukan masing-masing. Amy menjabat sebagai Ketua Himpunan, Sandy bekerja di sebuah instansi serta pengerjaan skripsinya. Sedangkan Ryan juga padat dengan jadwal band dan kuliahnya. Lalu saya? Waktu itu, saya fokus dengan skripsi, jabatan sebagai Supervisor Marketing untuk Laboratorium Rekayasa dan Sistem Produksi Fakultas Teknologi Pertanian, serta magang di PT Coca Cola. Sebenarnya, saya masih bisa menyempatkan waktu sepanjang tahun itu. Namun, kami terlampau bergantung dengan Ryan.

Bagi saya, Ryan ibarat kawan, teman, sekaligus sahabat. Dia pandai sekali mengaransemen musik. Saya hampir selalu tak pernah mendengar fals ketika ia bernyanyi. Suaranya merdu dan empuk. Karena kemampuannya, dia sempat meraih juara pertama pada lomba vokal di ajang PEKSIMINAS tingkat Provinsi Jawa Timur dan berhak untuk maju di tingkat nasional di Makassar. Saya telah menduga, suatu saat kelak ia pasti bisa jadi penyanyi profesional. Boleh dibilang, ia cukup lengkap jika hendak tampil sebagai seorang artis. Mungkin, satu-satunya yang kurang adalah wajahnya yang mungkin tidak terlampau menarik perhatian orang. Tapi, ketika ia sudah berdiri di atas panggung, dapat dipastikan tak ada seorang pun yang bakal melewatkan penampilannya. Dalam hal olah vokal, dia sangat menginspirasi saya. Namun, hingga kini, seberat apapun usaha saya, tak pernah bisa akan semerdu dan seempuk suaranya.

Pada awal perkenalan saya dengan dirinya, sosoknya yang dewasa terlihat dari kemampuannya berkomunikasi serta mengatur grup nasyid kami. Dia dijuluki anak-anak dengan ”Bu RT” karena kecerewetannya. Namun, jujur, jika tak ada dia, latihan kami tidak akan pernah bisa berjalan dengan mulus. Ryan mampu memecah suara, memastikan setiap personel mendapatkan jatah dalam bernyanyi. Jika ada yang tidak enak alias fals, dia langsung tahu dan berusaha membetulkannya. Suaranya yang dahsyat kerap digunakan bukan sebagai vokal utama, namun malah menyokong suara-suara kami sehingga lebih kokoh.

Antara tahun 2005-2006, hubungan kami berdua sangat intens dan akrab. Banyak hal yang kami lakukan secara bersama-sama. Mulai dari sekadar jalan-jalan, bercanda, tertawa, saling mengejek, makan lalapan di Dieng, bernyanyi, maen game, hingga bertukar pikiran membicarakan hari-hari ke depan. Tema kami beragam. Antara keluarga, keinginan, ambisi, relationship, juga kegelisahan dengan kondisi saat ini. Entah mengapa, setiap bertemu dengannya, selalu saja nuansa keceriaan dan kegembiraan yang terasa. Tidak ada perasaan boring sekalipun. Dia juga pandai menghibur dan tahu pada saat yang tepat untuk bercanda, memberi nasihat, atau pura-pura marah. Memang terkadang kami berselisih paham, namun cepat pula kami segera melupakannya. Dia berarti sekali buat saya, bahkan sudah seperti saudara. Kecocokan di antara kami ternyata membuat hubungan kami awet hingga saat ini.

Kembali pada nasyid. Sekitar empat minggu lampau, Sandy menelepon. Dikatakannya, ada job lagi. Namun kali ini tidak main-main. Ada sebuah stasiun televisi baru, namanya CRTV yang akan release bulan Juni-Juli 2008 nanti, menawarkan grup nasyid kami untuk bisa tampil mengisi acara mereka. Kebetulan, ayah Sandy menduduki jabatan sebagai sekretaris pada stasiun televisi tersebut. Tentu saja kami kaget. Ditinjau dari vokal, yang paling menonjol, tentu saja masih Ryan. Ditinjau dari materi lagu, kebanyakan kami masih menyanyikan lagu-lagu orang lain, seperti Raihan, SNADA, atau Suara Persaudaraan. Usai bertemu dengan pemilik perusahaan plus tim kreatif, kami dipersilakan untuk merekam lagu sendiri yang kemudian ditampilkan bersama dengan video klip yang dibuat menyusul. Segalanya berlangsung cepat. Hingga kini, masih dalam tahap proses rekaman lagu sendiri. Belum tahu pula bagaimana hasilnya. Yang pasti, masing-masing dari kami merasa, jalan ke arah yang lebih lebar telah terbuka luas. Tinggal bagaimana kami bisa memanfaatkannya. Makanya, belakangan ini kami getol berlatih seoptimal mungkin agar hasilnya bisa bagus. Tentu, tidak sesempurna artis-artis rekaman yang berlabel besar. Setidaknya kami sudah melangkah pada satu tahap yang lebih maju. Daripada, penampilan kami yang berkutat dari satu panggung ke panggung yang lainnya. Alhamdulillah ya Allah. Tak sabar menanti kisah hidup selanjutnya yang telah tertanam pada kalam-Mu.


Regards,
Abhiem


Read More......

Rabu, 05 Maret 2008

Kapankah FTP Punya Gedung Bagus?

Sabtu malam, tanggal 16 Februari 2008, saya bersama seorang kawan, Atika bertandang ke Fakultas Kedokteran Unibraw. Tujuan kami untuk meliput acara peresmian Gedung Pusat Kedokteran setinggi 7 lantai yang mulai dibangun pada 2006 silam. Berdasarkan penuturan dekan FK, dr Samsul Islam, pembangunan gedung ini menelan dana mencapai sekitar 17,5 miliar yang diambil dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Terbagi atas dua tahap dimana tahap pertama berupa pembangunan struktur dengan desain antigempa pada periode 16 September – 29 Desember 2006. Sedangkan, tahap kedua berupa finishing selama 180 hari, antara 21 Juni – 19 Desember 2007. Dengan luas total 10.346,7 m2 menjadikan gedung FK ini sebagai gedung termewah dan tercanggih di antara yang lainnya.









Seusai acara pembukaan yang ditandai penandatanganan prasasti oleh Rektor Unibraw, Prof Dr Ir Yogi Sugito beserta dekan FK, dr Samsul Islam serta pengguntingan pita oleh Ibu Eny Sugito, para hadirin dipersilakan untuk meninjau ruangan di gedung tersebut. Para rombongan lalu menyaksikan ruangan demi ruangan setiap lantainya. Dimulai dari lantai enam, tersedia ruang auditorium, ruang komite, ruang seminar, hingga ruang tunggu persiapan. Dinding seluruh ruangan ini dilapisi papan khusus yang mampu berfungsi sebagai peredam suara. Di lantai lima, terdapat ruang para pimpinan. Mulai dari dekan, pembantu dekan, ketua program studi, administrasi umum, staff, serta roof garden. Yang menarik, desain untuk ruangan dekan dan para pembantu dekan dibuat berbeda. Semuanya tampak sangat mewah dan luks. Seperti menonton griya unik di acara televisi. Ruang dekan cukup lapang dengan fasilitas menunjang. Ruang pembantu dekan satu berwarna hijau pupus, ruang PD II berwarna merah marun, sedangkan ruang PD III berwarna ungu anggrek. Tata letak maupun pemilihan warna dilakukan cermat, sedetail mungkin. Tentu saja untuk menyegarkan mata serta memberikan efek nyaman, serasa di rumah sendiri. Selain itu, ruang administrasi juga cukup cantik. Para rombongan tak henti-hentinya berdecak kagum. Ada yang menyeletuk, “Kalau kaya gini, jadi betah di kantor terus. Emoh pulang..” Saya tersenyum, mengiyakan. Bagi yang penasaran, silakan dilihat gambar-gambarnya.












Lanjut, di lantai empat, terdapat ruang kelas, ruang administrasi, lobby serta ruang tunggu. Desainnya standar tapi tetap berkesan elegan. Di lantai dua maupun tiga, hampir serupa. Terdapat ruang PBL (Problem Based Learning), ruang administrasi, ruang perlengkapan, serta ruang tunggu. Yang terakhir, lantai pertama terdapat ruang laboratorium bahasa Inggris, ruang komputer, kantin, musholla, UKM serta kamar mandi. Gedung ini juga dilengkapi fasilitas pendukung, seperti sistem penginderaan kebakaran berupa fire alarm yang sempat disimulasikan pada awal rombongan masuk meninjau gedung, transportasi vertikal, plumbing yang terdiri atas instalasi listrik, air, serta sampah, sistem informasi manajemen yang mengelola data terpusat, hotspot, televisi, dan telepon. Tak cukup lagi? Ada pula penangkal petir elektrostatik yang mampu menetralisir muatan listrik sehingga petir gagal menyambar dalam radius 200 m2.

Bagaimana? Cukup wah dan keren, bukan? Saya tak habis-habisnya mengagumi keindahan masing-masing ruangan. Terutama ruangan para pimpinan tersebut, dekan dan pembantu dekan yang so exciting... Jadi mengiri. Apakah nanti ruang kantorku juga akan seperti itu? Hm, I hope so.. Usai peninjauan seluruh rombongan berikut hadirin dipersilakan untuk ramah tamah alias makan bersama. Selanjutnya, menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan dalang sebanyak tiga orang yang beraksi berbarengan. Semuanya dari Kedokteran sendiri. Acara ini bisa dinikmati secara bebas oleh masyarakat luas beserta undangan. Mulai pukul 21.00, diperkirakan akan selesai dini hari sekitar pukul 03.00. Sementara aku, puas memotret dan wawancara, akhirnya pamit. Undur diri. Nonton wayang kulit? Pengin juga. Tapi, harus mengantar kawan pulang ke kosnya. Tak baik, pulang malam-malam. Apa kata tetangga? Hehe...

Sambil menyusuri gedung-gedung di kampus tercinta ini, ingatanku membayang pada gedungku sendiri. Fakultas yang lainnya berlomba-lomba mendirikan gedung baru, bagaimana dengan FTP? Boro-boro, gedung baru, jurusan saja masih belum terintegrasi dengan sempurna. Fakultas juga masih terpisah. Kemahasiswaan sudah mulai dipindah, akademik masih di gedung lama. Sementara jurusan TIP? Ruang kelas memang cukup luas. Tapi, LCD seringkali harus mengantri ketika ada mata kuliah bersamaan. Sudah mulai ada pembenahan, serta penambahan fasilitas buat mahasiswa. Tapi, sebenarnya yang lebih penting lagi bukan hal itu. Melainkan, peningkatan pada kualitas civitas akademikanya. Mulai dari mahasiswa, dosen selaku pendidik dan pengajar, serta pegawai dan karyawannya. Seluruhnya harus terintegrasi menciptakan kualitas yang bagus dalam fungsi tiga pilar. Yakni, aspek pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat. Percuma juga punya gedung bagus, jika kualitasnya jelek. Tapi, bukan berarti gedung juga jelek. Tegasnya, fasilitas juga harus dipertimbangkan agar ketiga aspek tersebut bisa terpenuhi dengan baik kualitasnya.

Oh, ya..Pikir saya lagi. Jika FTP punya gedung bagus seperti di FK itu, mahasiswanya bayar SPP berapa ya? Jangan-jangan jadi Rp 10 juta per semesternya? Wah-wah... Standar kedua fakultas ini cukup jauh jika hendak diperbandingkan. Jika mau komparasi, lebih baik dengan fakultas agrokompleks yang lainnya. Jangan FK, FIA, ataupun FE yang sebentar lagi juga hendak dilakukan peresmian. Dengar-dengar juga, PIS juga hendak melaksanakan peletakan batu pertama. Boleh juga, persaingan ini. Tapi, harapannya juga. Jangan sampai pembangunan gedung ini pada akhirnya membuat para penentu kebijakan, seperti dekan beralasan untuk menaikkan uang gedung mahasiswanya. Percuma juga kan? Mending kuliahnya outdoor saja, daripada di dalam kelas tapi tidak bisa membayar SPP...Setali tiga uang jadinya.


Regards,
Abhiem

Read More......

Undangan Interview, Psikotest, dan Sepotong Kenangan

Hari Senin kemarin, awal pekan ini, aku mendapat telepon dari Bu Agnes, pihak HRD dari tabloid Bintang Indonesia. Ia memintaku untuk datang pada sesi interview pada hari Jumat, 15 Februari 2008 di jalan Prof Dr Satrio Kavling 3-5 depan ITC Kuningan, Jakarta. Saat itu, aku hanya berusaha menyanggupinya tanpa tahu apakah aku benar-benar bisa atau tidak. Yang jelas, memang tidak bisa sebab pada hari yang sama aku harus menjalani prosesi yudisium. Sebelum dia menutup telepon, ditegaskannya bahwa aku harus datang. Dia lalu memberikan nomor teleponnya, 021-525xxxx. Sekali lagi, kubilang akan kuusahakan.


Dan begitulah, hari Jumat kulalui dengan penuh ketegangan untuk segera mendaftar wisuda bersama kawan-kawan yang lain. Usai membereskan beberapa dokumen yang masih membutuhkan tanda tangan, aku berupaya untuk menemui Bagian Kemahasiswaan Fakultas. Ternyata sudah tutup. Padahal saat itu masih sekitar pukul 13.35 siang. Aku langsung shock. Bagaimana bisa para pegawai sudah tidak ada di tempat ketika masih dibutuhkan oleh mahasiswa? Aku benar-benar tak habis pikir. Ketika itu juga aku mendapat telepon dari Bu Agnes lagi. Dia meminta kejelasan posisiku dimana. Tentu saja, aku bilang dengan sepenuh hati bahwa aku tidak bisa datang interview karena harus yudisium. Padahal, malam harinya aku memperoleh sms dari PT Santos Jaya Abadi agar mengikuti psikotest di gedung Fakultas Ekonomi Unibraw, hari Jumat juga, pukul 14.00 WIB.

Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin sekali datang di tabloid Bintang Indonesia. Aku ingat benar pada posisi sebagai reporter film. Dulu, aku apply ke perusahaan tersebut dengan mengirimkan beberapa tulisan resensi film yang kukumpulkan melalui tulisanku di Friendster dan lainnya. Lucunya, sewaktu ibuku menelepon tentang hal ini, beliau menggoda diriku, “Reporter film? Wah, banyak ketemu artis ya..” Aku hanya tersenyum, yang jelas sekali beliau tidak tahu. Dalam hatiku, reporter film kan tidak selalu bertemu artis, paling-paling menulis resensi filmnya doank. Finally, aku segera cabut untuk menjalani psikotest. Sesampai di sana, ruangan sudah penuh. Sekitar seratus orang telah memadati ruangan tersebut. Baik pria maupun wanita berpakaian formal. Aku sendiri sebenarnya mengenakan hem lengan panjang, tapi dengan cuek jaket tetap kupakai.

Soal psikotest kali ini terbanyak dari soal yang pernah kuhadapi dimanapun. Pertama kali, kami diminta untuk mengisi semacam formulir yang berisi kolom tentang biodata diri, posisi kerja yang dimasuki, alasan apply, gaji yang diinginkan, pengalaman interview, pengalaman organisasi, penyakit yang pernah diderita, hingga kesukaan membaca dan jenis bacaan yang diminati. Dua kolom terakhir ini sesuai benar dengan hobiku. Aku jadi semangat. Tiba-tiba ingatanku melayang pada pertanyaan ketika aku di-interview di PT Sinarmas. Kemudian, kita diberikan satu bundel soal dan selembar kertas jawaban. Dengan dipandu pihak HRD, kita diminta untuk sesegera mungkin menjawab pertanyaan berupa pilihan ganda.

Kalau saya tidak salah, kumpulan soal pertama tentang pertanyaan biasa. Kumpulan soal kedua tentang pencarian sinonim. Soal ketiga, terkait dengan persamaan sifat dan makna. Soal keempat, tentang logika matematika alias deret. Soal keempat, tentang pengambilan makna secara general, contoh, pertanyaan : mawar-melati, dijawab : bunga. Soal kelima, pencocokan gambar. Soal keenam, perhitungan matematika. Soal ketujuh, apa ya? Maaf yang ini lupa banget. Soal kedelapan, penyesuaian bentuk balok dengan pelbagai bentuk sisi. Soal kesembilan, tentang penyesuaian bentuk bangun datar. Seluruh kumpulan soal ini dikerjakan tidak kurang dari lima menit dimana masing-masing ada dua puluh soal.

Selanjutnya, diberikan tiga buah kertas lagi. Yang ini tentang Wartegg Test alias menggambar pada delapan kotak yang telah berisi garis tipis, lengkung, bulat, dan sebagainya. Sama dengan tes yang lainnya. Kertas kosong satunya, diminta untuk menggambar bentuk pohon. Hanya ada syaratnya, pohon tidak boleh pisang, kelapa, bentuk perdu, bunga, rumput, jagung, beringin dan lain sebagainya. Ketat sekali syaratnya. Aku akhirnya memilih bentuk pohon mangga. Yang terakhir, seperti biasa diminta menggambar orang seutuhnya, diberi nama, profesi, jenis kegiatan, serta usia. Ah, seperti biasa aku menggambar sesuai dengan apa yang ada di kepalaku, sebuah profesi impian. Tepatnya, rahasia dong...Haha.

Sekitar pukul 5 sore, semuanya sudah usai. Kulihat sekeliling ruangan, hanya ada aku, seorang pria di sebelahku, Vicky, temanku dari Fakultas Pertanian, serta dua orang cewek yang masih sibuk mengisi biodata diri. Dari sekian banyak, tinggal kami berlima? Tadi, aku memang datang telat sekali. Masa yang lainnya juga? Tapi, segera kupercepat dan kuserahkan lembaran jawaban beserta biodata pada pihak HRD. Sebelumnya, mereka sudah menerangkan, bagi yang lolos psikotest ini akan dihubungi secepatnya untuk menjalani sesi interview. Jika memungkinkan ada yang dipanggil untuk interview di kampus ini juga. Jika tidak, akan dipanggil ke kantornya, di Surabaya. Apakah aku berharap? Jujur, bahkan aku lupa posisi apa yang ku-apply. Gila bener, beberapa teman yang kuajak mengobrol juga mengeluhkan hal serupa. Ternyata aku tidak sendirian. Perlu diketahui perusahaan ini merupakan salah satu cabang dari Kapal Api Group yang bergerak pada industri consumer goods. Mulai dari kopi, susu creamer, dan lain-lain. Salah satu perusahaannya bertempat di Surabaya.

Ah, kota Pahlawan itu menyisakan beberapa kenangan dan pengalaman dramatis. Terakhir kali aku singgah ke sana, ketika mengikuti pelatihan jurnalistik akhir bulan Maret tahun 2007 silam di Universitas Airlangga. Sempat menginap di teras rumah sakit Dr Soetomo karena tidak mendapatkan tumpangan. Tapi besoknya, sempat keliling kota diantar panitia. Terima kasih buat Aam dan kawan-kawan. Toh, perjalanan ini juga tidak sia-sia. Beberapa hari lalu, mereka juga mengirimkan undangan untuk mengikuti pelatihan jurnalistik lagi. Bedanya, kali ini para peserta disediakan akomodasi dan transportasi oleh panitia. Wah, sudah bukan waktunya lagi nie untuk mengikuti acara seperti itu. Walaupun Pak Farid Atmadiwirya, kepala Humas menawariku. Tapi aku harus mengalahkan egoku agar memberikannya pada anak-anak yang lain. Mereka juga butuh pengalaman dan kesempatan. Sudah bukan saatnya maruk. Haha, istilah yang terkadang membuatku risih. Tipis bedanya dengan ambisi. Maruk itu merugikan orang lain, ambisi itu tidak. Bagaimanapun, kenangan di Surabaya itu membangkitkan kesadaran bahwa panitia harus selalu berusaha melayani peserta sebagai tamu undangan sebaik-baiknya, meskipun dalam kondisi apapun.

Hal yang juga aku alami ketika mengikuti pelatihan serupa di Universitas Udayana, Bali. Bertemu dengan orang-orang ramah dan menyenangkan. Seperti Naning, Pam-Pam, Fajar, Burhan, Agus, Yogi, dan buanyak lagi lainnya. Yang paling terkesan dengan pengorbanan panitia adalah ketika Agus yang jelas-jelas lagi sakit demam dengan penuh semangat masih bersedia mengantarkan salah satu peserta untuk pergi ke tempat yang diinginkan, semisal beli pulsa atau ke toko. Dadaku berdesir mengingat keteguhannya sigap melayani para tamu walau berada pada titik lemah. Aku sendiri pun bila dalam posisi seperti dia, belum tentu bisa melakukan hal serupa. Salut dan angkat topi buat dirinya. Oya, ini kok jadi melantur kemana-mana ya? Seringkali memang jika bercerita, suka sekali aku mengkait-kaitkan dengan pengalaman yang kuperoleh sebelumnya. Bukan untuk menyombong, tapi sebagai sarana membangkitkan semangat dan menegur diriku sendiri yang kerap lalai dengan waktu yang sudah banyak terbuang percuma.

Lalu, kaitannya dengan undangan interview dan psikotest? Aha, sebenarnya ilmu melayani dalam hal kepanitiaan juga bisa diterapkan ketika kita masuk ke dunia industri. Seperti ungkapan Bunda Theresa, hidup itu sebuah pelayanan. Bagaimana kita berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja demi kemajuan perusahaan. Sebenarnya naif juga, hanya saja kondisi seperti ini memang tidak bisa berjalan simultan. Perlu sebuah proses panjang hingga dicapai suatu titik kesadaran. Duh, memang selalu mudah bicara teori dan rencana, aplikasinya belum tentu. Makanya, sampai kini aku tetap salut dengan orang-orang yang diberikan kebesaran jiwa melalui sikap pelayanan, tanpa pretensi apapun, bertindak seiring jiwa dan raganya secara holistik. Mungkin, berbeda dengan pendapatnya teman-teman yang lain. However, buat Agus Udayana, salut sama kamu bro...


Regards,
Abhiem


Read More......

Wisuda yang Tertunda

Jumat kemarin, tanggal 15 Februari 2008, sekitar 20 orang mahasiswa dari program reguler, ekstensi, maupun diploma mengikuti prosesi yudisium. Acara ini ditandai dengan pemberian ucapan selamat dari pihak jurusan yang diwakili Bapak Aunur R Mulyarto serta Ibu Sri Maryani selaku pihak yang mewakili program diploma. Selain itu, juga dibacakan nama lengkap, tempat/tanggal lahir, IPK, judul skripsi, serta nama dosen pembimbing dan kategori kelulusan. Acara berlangsung cukup santai dan gayeng. Terlebih, di penghujung acara, para lulusan diberikan kesempatan untuk memberikan kesan sekaligus saran terkait evaluasi ke depan yang akan dilakukan pihak jurusan Teknologi Industri Pertanian. Beberapa hal yang disinggung, seperti pembentukan Alumni Center yang diharapkan mampu mewadahi para alumni untuk saling bertukar pikiran dan berkontribusi positif terhadap jurusan. Juga ada saran tentang penyelenggaraan stula, PKL, serta pembimbingan skripsi yang terstandarisasi. Just like a usual...


Seusai mengikuti yudisium, anak-anak segera melebarkan sayap. Maksudnya, mendaftar wisuda. Sayang sekali, dokumenku masih kurang lengkap. Maka, aku segera pergi ke tempat fotocopy. Di sana, sudah ada Indah dan Trias yang juga tak kalah semangat. Dalam hati, aku tersenyum. Kondisi yang selalu mendadak, disadari tepat sebelum semuanya deadline. Tak jauh bedanya dengan siswa yang baru mempersiapkan diri dengan belajar padahal setengah jam kemudian ada ulangan. Kenapa sih nabyak-nabyak (apa sih bahasa Indonesianya yang asyik?) selalu ada di setiap tempat dan waktu? Benarkah habit ini susah sekali hilang? Sebenarnya ini kembali lagi ke diri masing-masing anak. Segala sesuatu yang bisa dipersiapkan dengan matang akan mempermudah segalanya. Tapi, kerapkali jadi slogan kosong. Ketika ada kejadian, selalu kembali lagi.
Kelar fotocopy dan menempelkan foto, kami segera kabur ke Bagian Keuangan untuk membayar wisuda sebesar Rp 495.000,-. Besar sekali ya? Sebenarnya untuk apa pula biaya sebesar itu? Sayang, tidak ada rinciannya sama sekali. Aku juga hendak menanyakan hal ini. Pasalnya, di Fakultas Pertanian, biayanya tidak sebesar itu. Sekitar Rp 350.000,- saja. Nah, perbedaan yang cukup signifikan ini menggelitikku dengan pelbagai pertanyaan yang belum tuntas sepenuhnya. Jadi, kepingin menyelidiki nih...Ketika hendak membayar biaya legalisasi ijazah, kami diminta sebesar Rp 15.000,- serta menunjukkan memo dari Bu Tukinah, staf Akademik dari Fakultas. Hah, memo? “Apakah tidak bisa tanpa adanya memo?” tanyaku yang kemudian dijawab dengan sebuah gelengan. Nah, ini yang menyulitkan. Bu Tukinah saat itu sedang melayani mahasiswa yang registrasi di lantai tiga. Apa kami harus menunggu beliau untuk mendapatkan sebuah memo saja? Jelasnya, iya, dengan huruf kapital.

Maka, dengan lunglai kami segera ke lantai atas. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 lebih. Di ruangan registrasi, sudah tampak wajah teman-teman kami yang bernasib serupa. Antara lain, Anggun, Mey, Trias, Pras, Berizka, Ubed, Lilis, dan aku sendiri. Yang lainnya, tidak ada yang tahu. Masalahnya, antrian mahasiswa yang registrasi masih cukup panjang. Kami harus bersabar, meski juga gregetan dengan dada was-was dan harap-harap cemas. Apakah bisa? Itu yang menjadi inti pertanyaan dalam hati kami semua. Sementara itu, aku sempat mendengar curhat Mayang yang harus membayar Rp 600.000,- sebagai biaya registrasi padahal dia tinggal ujian skripsi. Aku berusaha menenangkan dirinya, padahal dalam hatiku tak kalah deg-degan. Dia lalu – seperti biasanya – tersenyum tipis seolah menegaskan bahwa dia akan selalu baik-baik saja. Namun, matanya tetap tidak bisa dibohongi. Sedangkan, Adi, salah satu temanku yang paling unik dan baru saja registrasi, haha...sori Adi, selalu menyemangatiku. Loh, kok terbalik? Hehe, harusnya aku yang menyemangati dia. Tapi, entahlah. Pertemuan kami selalu diwarnai dengan pertengkaran penuh canda dan ucapan selamatnya yang terkadang membuatku jengkel, “Kapan wisuda?” Lalu kujawab pasti, doakan secepatnya ya Adi. Kamu cepetan nyusul...

Pertanyaan itu yang kemudian menghantuiku lagi. Di satu sisi, Mey yang duduk di sebelahku tak henti bercerita tentang kepasrahan. Halah, kami lalu mengobrol bersama mengenang ketika kami yang menurut rencana bisa yudisium bulan Januari lalu, harus tertunda satu bulan gara-gara dosen. Aku tentu saja tak hendak menyalahkan karena toh segalanya telah berlalu. Aku hanya bisa introspeksi, ini mungkin salahku juga. Tapi, rasanya tidak adil sekali, jika oleh karena hal itu, membuatku tidak bisa cepat-cepat segera ikut wisuda. Sedangkan, Mey terkendala oleh jilidan skripsinya yang tak bisa tepat waktu. Yang membuatku tersenyum penuh ironi adalah Lilis. Kami bertiga memang hampir ikut yang bulan Januari. Tapi, kondisi Lilis cukup fatal. Nilai TOEFL-nya yang berkutat pada 447 – dia dua kali ikut dan dapat nilai sama persis – membuat kami menyindir, dia sudah mendapatkan angka keberuntungannya. Yang kutimpali, “Tapi kenapa ya angka itu disusun 447, bukannya 474?” Kami tertawa bersama. Akhirnya, dia dapat juga nilai yang diinginkan, lebih dari 450. Kembali pada Mey lagi. Aku lalu berusaha menghiburnya. “Setidaknya kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Jika ternyata tidak bisa, berarti kita memang masih belum beruntung.” Mey menukas, “Tapi kenapa selalu terjadi? Mulai dari yudisium kemarin..” Aku menggelengkan bahu. Entahlah, kawan. Aku juga tidak tahu. Rencana Allah kerapkali datang tanpa kita duga sebelumnya. Mungkin saja ini termasuk dalam rencana-Nya.

Waktu semakin mepet. Sebentar lagi istirahat Sholat Jumat. Antrian menipis pasti. Aku segera menyerobot satu anak cewek yang masih mengantri. Sebelumnya, dia memang mempersilakanku untuk duluan. Kami lalu berbarengan menyatakan maksud kami untuk mendapatkan memo tersebut. Bu Tukinah segera memberikan secarik kertas kosong yang telah diisi dengan tanggal dan parafnya. Masing-masing anak memperoleh satu untuk diisi dengan nama sekaligus NIM. Dengan cepat, kami menuju Bagian Keuangan yang ternyata sudah tutup. Terang saja, sudah waktu istirahat kok. Aku lalu pulang buat jum’atan di Al Istiqomah, dekat kos. Usai sholat, sempat kuambil foto 3x4 dan 4x6 berwarna di tempat affdruk. Aku lalu segera ke Bagian Keuangan buat membayar. Di sana sudah ada, Indah dan Nurila. Menyusul kemudian, Anggun dan Berizka.

Setelah itu, kami menunggu Bu Tukinah lagi untuk menyerahkan nota. Ketika beliau muncul, dengan ringan dikatakannya, “Nanti ya..Jam setengah empat. Habis registrasi.” Aku kaget. Harus menunggu selama itu? Tapi, aku tidak bisa memaksa. Dia memang harus bertugas. Yang kusesalkan adalah mengapa dalam kondisi seperti ini tidak ada orang yang bisa mewakili Bu Tukinah menjalankan tugasnya? Or she’s the only one people who can handle it...? Aku tidak percaya itu. Sempat kusampaikan pada Berizka. Lalu, aku bermaksud menuju Bagian Kemahasiswaan Fakultas yang sudah dipindah di gedung Politeknik. Ruangan di sana tampak lengang dan kosong. Ada beberapa kardus bertumpuk. Serta sebuah meja dan beberapa perkakas. Seorang pria – maaf, aku tidak tahu namanya – berpakaian motif garis hijau menyampaikan padaku bahwa pegawai Kemahasiswaan sudah pada pulang. Dia lalu menuntunku menuju ruangan tersebut. Pintu terkunci. Di luar ada sebuah papan bertulis agenda kegiatan yang disandarkan pada sebuah lemari. Aku heran. “Padahal baru jam segini lho, Pak? Kok sudah pulang semuanya ya?” Ia menggeleng. “Kami mau daftar wisuda sekarang, Pak. Jika tidak, kami tidak bisa ikut bulan Maret ini,” kataku. Dia sekali lagi menggeleng dan menyarankanku untuk datang besok lagi. “Bapak, besok kan Sabtu...” ucapku menyadarkannya. “O ya, berarti Senin saja,” katanya ringan. Aku tersenyum kecut. Apa masih ada harapan? Aku kemudian pamit. Saat itu, handphoneku berbunyi. Ada telepon dari HRD tabloid Bintang Indonesia (baca juga : Undangan Interview, Psikotest, dan Sepotong Kenangan). Aku ingat, juga ada jadwal psikotest Pukul 14.00, siang itu.

Selanjutnya, aku kirim sms dengan Berizka maupun Mey untuk mendaftarkanku sekalian pada Bu Tukinah. Karena aku tidak bisa terus stand by di tempat menunggu beliau. Lalu, aku mengikuti psikotest yang selesai pada Pukul 17.00. Di sela-sela mengerjakan soal, aku sempat berkirim sms dengan Mey tentang hasilnya. Selama psikotest, handphoneku memang kumatikan. Sehingga aku baru membaca sms masuk usai psikotest, dalam perjalanan menuju Humas. Isinya, mengabarkanku bahwa tidak ada anak yang bisa wisuda bulan Maret. Mas Eko Fakultas bilang pada kami bahwa kuota telah mencukupi. Aku lemas. Terlebih sedetik kemudian ayahku menelepon menanyakan prosesi yudisium dan psikotest. Tak lupa, “Kapan wisudanya?” Hm, sebuah pertanyaan yang entah mengapa membuatku jadi paranoid. Intinya, aku tak tega dengan orang tuaku yang mengharapkanku segera wisuda. Duh, maafkan aku ayah dan ibu. Hingga detik ini aku belum berani jujur sama mereka. Rencananya, besok Senin aku mau mengecek lagi ke fakultas. Setelah benar-benar habis kuota, aku baru menelepon orang tua. Semoga mereka mampu mengerti dan memahamiku sepenuhnya. Dan, semoga juga, wisuda bisa diadakan lagi besok bulan April, harapku dalam hati.

Regards,
Abhiem

Read More......

Dua Hari Melelahkan

Hari Rabu, tanggal 13 Februari 2008 silam aku pulang kampung. Sebenarnya, mulai dari pagi, ada beberapa aktivitas yang harus kuselesaikan. Hal ini terkait dengan deadline tugas. Tidak ada waktu untuk menunda. Semakin dibiarkan lama akan semakin menumpuk sehingga pekerjaan akan terasa kurang efektif, hasilnya juga tidak optimal. Kondisi ini terjadi manakala aku belajar dari kesalahanku selama ini. Dekat-dekat dengan waktu pengumpulan tugas, malamnya baru melembur. Setelah itu, besoknya jadi, namun hasilnya hanya lumayan saja. Ah, terkadang walaupun sampai sekarang aku sudah berusaha meminimalisir, tapi susah sekali. Kebiasaan deadline masih seringkali terjadi. Hehe, mengapa ya sulit membiasakan diri padahal demi kebaikan kita sendiri? Perlu usaha lebih untuk memaksa diri mematuhi janji dalam diri dan hati.


Sebelumnya, malam hari Rabu, aku bersama seorang kawan, Atika datang ke rumah sastrawan ternama, Ratna Indraswari Ibrahim. Beliau tinggal di rumahnya yang asri nan bergaya kolonial, di Jalan Diponegoro. Tempatnya persis di sebelah Masjid Sallahudin dan Sekolah Musik Gita Narwastu. Kedatanganku ini terkait tujuan wawancara untuk memenuhi tugas dari pihak Humas membuat buku 45 tahun Universitas Brawijaya. Jadi, selain beberapa pemaparan tentang profil kampus secara general, termasuk juga prestasinya serta seabreg bahasan lain, diselipkan pula komentar dari pihak-pihak yang telah banyak berkontribusi buat Unibraw. Nah, salah satunya Mbak Ratna, panggilan akrab anak-anak mahasiswa pada dirinya. Tujuannya, agar dapat komentar yang bukan hanya posifif, melainkan juga berupa saran konstruktif demi evaluasi ke depan.

Ketika ditemui, beliau masih mengobrol lama dengan seorang kawannya. Kami lalu menghabiskan waktu sejenak dengan melihat-lihat buku yang terpajang di Tobuki, Toko Buku Kita. Toko ini dikelola secara swadaya oleh Mbak Ratna beserta beberapa orang rekannya. Tema buku yang dijual cukup luas, namun berdasarkan pengamatan, sekitar 85% tentang sastra dan sosial budaya. Ada beberapa novel yang menarik perhatianku, salah satunya berjudul In Cold Blood, karya Truman Capote. Berkisah tentang penyelidikan investigatif kasus pembunuhan di Holcum, Kansas. Buah penanya ini menandai awal kebangkitan jurnalisme sastrawi, selain karya John Hersney “Hiroshima” yang ditasbihkan sebagai karya jurnalistik terbaik dari 100 tulisan pada era kini.

Kembali ke Mbak Ratna. Kami lalu berbincang seru seputar tentang Universitas Brawijaya. Bagaimana dulu ia sempat berkuliah di FIA pada 1964 lalu drop out karena tidak menemukan kesesuaian. Ia lebih memilih untuk berkonsentrasi menulis. Hingga pada kritiknya terhadap teknokrat yang jarang mau menulis, khususnya di media mainstream, semacam Kompas atau Jawa Pos. Ia sangat menyayangkan hal ini. Seharusnya, agar Unibraw mau dikenal masyarakat secara luas, harus disertai dengan tindakan nyata. Minimal dengan publikasi tulisan, memberi saran terhadap isu-isu nasional yang marak terjadi. Ia juga menengarai sikap apatis mahasiswa sekarang lebih disebabkan pada fokus pada kegiatan kuliah agar tepat waktu. Sayang, dari sisi kualitas menjadi tidak matang. Berbeda dengan kondisinya dulu yang berkuliah dalam periode lama sehingga pengalaman lebih terasah. Juga nuansa kebersamaan yang kental tidak lagi dijumpainya pada mahasiswa saat ini.

Seusai wawancara, kami mohon diri. Beliau sempat wanti-wanti agar kami berkenan hadir pada acara pembacaan puisi dari pegiat seni, Saut Situmorang yang digelar besok hari Minggu, akhir pekan ini. Aku berusaha menyanggupinya walaupun tidak menjanjikan. Kubilang mungkin anak-anak unitas akan aku kabari juga. Ia melepas kami setelah sebelumnya, aku sempat mengambil fotonya dari pelbagai angle. Beliau wanita luar biasa dengan seabreg pengalaman dan prestasi karya sastra. Di antaranya, pernah memperoleh predikat Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI pada 1994 dan pernah menghadiri Kongres International Women di Beijing, Cina bersama dengan Ibu Sri Kumalaningsih, dosen pembimbing skripsiku.

Esok harinya, hari Rabu, aku datang ke Gedung PascaSarjana untuk meliput ujian disertasi Ir Bambang Pujiasmanto MS dan Ir Pardono MS. Kegiatan peliputan seperti ini adalah tugas yang selalu kujalani dengan senang hati, meskipun terkadang terasa juga monotoninya. Cukup membosankan, bagi yang menganggapnya ini bagian dari rutinitas. Tapi jika melihatnya dari sisi ilmu, sungguh pengalaman yang amat sangat berharga. Banyak hal yang bisa dipetik dari hasil disertasi ini, mulai dari metode penelitian, semangat kerjanya, kesibukannya sebagai dosen dan kepala keluarga yang seringkali menyita waktu, hingga pada keberhasilan meraih gelar secara tepat waktu. Ada dosen yang bagus banget struktur tulisannya hingga aku terlongong membaca ringkasan disertasinya. Ada pula yang kualitasnya biasa, tapi orangnya berdaya humor luar biasa hingga acara ini menjadi ajang refreshing yang menarik. Ada pula, dosen yang kuat di riset dan detail penulisan, tapi dewan penguji dengan lihai masih menemukan celah yang membuat calon doktor ini tidak mampu menjawab secara mulus. Beragam karakter ini memperkaya khasanah pengalamanku bahwa calon doktor juga manusia, meminjam istilah Seurius Band. Ia sama saja dengan mahasiswa S1 yang nervous ketika ujian skripsi, bahkan jawabannya terkadang juga tidak masuk logika. Ah, bedanya memang pada hal pengalaman.

Di awal-awal melakukan peliputan disertasi tertutup di Fakultas Pertanian, aku mendapat satu kejadian menarik. Bu Sri Kumalaningsih yang kerap menjadi dosen pembimbing calon doktor itu memandang kehadiranku dengan pandangan aneh. Ketika aku menghadapnya kemudian, ia langsung memberondongku dengan beragam pertanyaan. Selain itu, juga meminta aku konfirmasi tentang statusku di sana. Aku lalu berusaha senatural mungkin menjawab, walau di satu sisi takut juga. Jangan-jangan ia memintaku untuk bersikap dan menjawab seperti calon doktor itu. Bah, mana mungkin? Lha wong, waktu itu sarjana saja belum. Hehe, but it’s so excited experiences...

Waduh, sudah melebar kemana-mana ya. Lanjut soal ujian disertasi. Biasanya seusai meliput, aku memotret calon doktor itu sendirian dengan background dinding berwarna netral, biasanya putih gading atau krem. Selanjutnya, aku meminta buku ringkasan yang akan kucatat kemudian. Setelah itu, mendengarkan hasilnya seperti IPK berikut masa studinya. Kelar dengan semua itu, hadirin dipersilakan untuk makan bersama secara prasmanan. Ini yang aku suka, haha...Tapi, seringkali menunya itu-itu saja. Toh, tetap enak dan mengenyangkan kok. Kembali ke Humas sudah pukul 13.00 lewat. Itu artinya aku harus segera mengerjakan tulisan agar bisa segera pulang kampung. Sori banget, tujuan pulang kampung tidak dijabarkan dari awal. Untuk mengambil uang buat daftar wisuda hari Jumat usai yudisium. Nah, itu rencananya. Okelah, sampai sini akan kususun timeline activity-nya.

Pukul 13.00 : Sampai di Humas, lalu segera mengetik hasil disertasi.
Pukul 16.45 : Tulisan baru kelar, sudah dikirim via online. Bisa langsung diupload.
Pukul 17.05 : Tiba di kost, langsung mandi. Mampir ke kosan teman sebentar, pamitan.
Pukul 17.35 : Naik angkot, tujuannya ke terminal Arjosari.
Pukul 18.05 : Sempat ketiduran di angkot, lalu masuk terminal dan naik bus jurusan Blitar.
Pukul 18.20 : Bus berangkat. Aku sempat memeriksa isi tas, ada novel Tsotsi, dompet, dan kacamata.
Pukul 20.05 : Turun di terminal Blitar, menanti bus selanjutnya.
Pukul 20.20 : Berangkat ke terminal Tulungagung.
Pukul 21.30 : Sampai di terminal Tulungagung, lalu ganti bus lagi.
Pukul 21.45 : Ada yang tanya pada sopir, jam berapa ke Trenggalek. Dijawab, jam 11 malam.
Pukul 22.05 : Aku membunuh waktu dengan membaca novel Tsotsi.
Pukul 22.30 : Mulai terasa membosankan, para penumpang berteriak tidak sabar.
Pukul 22.50 : Aku hampir membaca novel Tsotsi separuhnya. Rasanya geram.
Pukul 23.15 : Masih belum berangkat. Para penumpang mengomel.
Pukul 23.20 : Mulai berangkat. Ibuku menelepon, setengah mengeluh kok tidak sampai-sampai.
Pukul 23.45 : Turun di Durenan.
Pukul 23.55 : Tiba di rumah dengan selamat.
Pukul 00.00 : Mengobrol dengan keluarga.
Pukul 00.55 : Sempat melanjutkan novel Tsotsi yang telah kubaca sepanjang perjalanan.
Pukul 01.05 : Tidur.
Pukul 05.15 : Bangun pagi.
Pukul 05.55 : Berangkat lagi ke Malang.
Pukul 10.45 : Tiba di terminal Gadang.
Pukul 11.15 : Tiba di kosan lagi. Ah, rasanya unbelievable. Di rumah hanya numpang tidur doank.
Pukul 11.30 : Mengedit tulisan di Surat Lamaran Kerja, rencananya mau datang di Job Fair.
Pukul 12.55 : Ngeprint di rental.
Pukul 13.45 : Fotocopy di Masjid Raden Patah. Suer, yang ikutan antri banyaknya gak ketulungan.
Pukul 14.15 : Baru bisa selesai fotocopy berkas.
Pukul 14.20 : Masuk di gedung Samantha Krida. Sendirian. Melihat-lihat pameran.
Pukul 15.00 : Merapikan dokumen sekaligus setor ke beberapa perusahaan.
Pukul 15.45 : Keluar dari gedung Samantha Krida, ke Humas.
Pukul 18.45 : Tiba di Kos.
Pukul 19.42 : Dapat undangan psikotest dari PT Santos Jaya Abadi, besok Jumat, pukul 13.00
Pukul 20.05 : Menonton American Idol, haha...sempat-sempatnya.
Pukul 22.00 : Membuat mie instan, makan barengan temen kos.
Pukul 23.15 : Tepar. Kelelahan. Tidur. Pulas. Nyenyak.

Nah, besok harinya kan hari Jumat. Langsung yudisium deh. Ceritanya, nanti to be continued ya. Lanjutnya, pada tulisan berjudul Wisuda yang Tertunda dan Undangan Interview. Bagi yang berminat membaca tulisan ini, silakan dibaca, dan ambil pengalaman positifnya. Jika terasa biasa-biasa saja atau bahkan annoying, saran saya, jangan dibaca daripada bikin sakit perut. Terlebih jadi tidak selera makan. Wah, jangan sampai begitu. Nasi lalapannya Mbak Evy masih enak kok. Tapi, setidaknya saya sudah sharing dengan teman-teman sekalian seluruh pengalaman saya, baik yang senang maupun sedih. Bagi yang menuliskan komentarnya, saya berikan apresiasi setinggi-tingginya. Gudlak buat kita semuanya, temen-temen TIP!

Regards,
Abhiem

Read More......