Senin, 11 Februari 2008

Beware with What U’re Writing

Hobi setiap orang sudah pasti akan berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing. Namun, siapa nyana jika sebagian besar para pelamar kerja, mencantumkan hobinya di Curriculum Vitae dengan tulisan “membaca”. Nah, apakah mereka sudah pasti punya minat yang sama dengan apa yang tertulis? Itu urusan masing-masing. Tapi, hati-hati saja jika ternyata apapun yang Anda tuliskan di Curriculum Vitae akan selalu ditanyakan secara mendetail oleh pihak perusahaan, khususnya interviewer. Oleh sebab itu, jangan terlampau mudah, apalagi sembarangan ketika menulis daftar riwayat hidup.


Seperti kejadian salah satu temenku yang pernah mengikuti interview di salah sebuah perusahaan. Katakanlah, namanya “X”. Dia sangat menyukai fotografi. Tanpa diduga, hobinya tersebut bakal menjadi batu sandungan yang lumayan menyulitkan ketika ditanya interviewer. Simak berikut ini :
“Apa hobi Anda?” tanya interviewer.
“Hobi saya fotografi, Pak.” Jawab X.
“Sejak kapan punya hobi seperti itu?” tanya interviewer lagi.
“Wah, sudah lama, Pak. Sejak SMA.”
“Berarti sudah lumayan berpengalaman ya?”
“Ya...” nada suara gamang, tidak begitu jelas.
“Biasanya foto dimana?”
“Biasanya di gunung sambil menunggu sunset,” kata X lagi.
“Yang lainnya?”
“Di manapun, cari angle yang menarik.”
“O, begitu. Terus, pakai kamera apa?”
“Pakai kamera SLR.”
“Bukaan berapa? Ukuran lensanya berapa? Diafragmanya gimana?” pertanyaan bertubi-tubi.
“....” diam sejenak.
“Bagaimana?”
“Hm, kalau tidak salah sih...ukurannya 6..” jawabnya ragu-ragu.
Suasana hening.

Kemudian, langsung lanjut dengan pertanyaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan minat, apalagi bakat. Hehe, mengerikan ya? Sebenarnya, tidak juga. Hal, ini tergantung pada apa yang Anda tuliskan. Sekali lagi, yang Anda tuliskan. Saya juga akan menceritakan pengalaman teman saya tentang apa yang sudah dituliskan. Namun, kali ini tidak ada kaitannya dengan minat maupun hobinya. Sebut saja namanya “N”. Ia menuliskan tentang apa yang tidak disukainya, yakni deadline. Saat itu, ia menjalani sesi interview di salah sebuah perusahaan TV swasta terkenal di negeri ini.

“Anda menuliskan, hal yang paling tidak disukai itu deadline. Benar begitu?” tanya interviewer.
“Benar, Pak.” Jawab N sambil mengangguk.
“Padahal, seperti Anda ketahui, perusahaan kami akan selalu berbenturan dengan deadline. Dan, setiap pekerjaan yang ada, harus selalu dipertanggungjawabkan secara tepat waktu. Tentunya, hal itu tidak terlepas dengan yang namanya deadline. Bagaimana pendapat Anda akan hal ini?”
“...”teman saya diam sejenak, menata nafas. Dalam hatinya, “Waduh, kena kamu.”
Lanjutnya, “Maksud saya ialah saya tidak suka dengan deadline jika tidak sesuai dengan kemampuan saya. Namun, saya tetap mengerahkan seluruh kemampuan saya seoptimal mungkin. Jika terkena deadline, saya memang kurang mampu bekerja secara total. Bagaimanapun, apa yang saya kerjakan tetap akan saya pertanggungjawabkan dengan baik.” N menjawab diplomatis.
Interviewer mengangguk-angguk saja.
“Dengan demikian Anda menegaskan tidak suka deadline, kan?”
Teman saya terdiam, tanpa mengangguk atau mengiyakan.
(Perhatian : Wawancara di atas sudah melalui modifikasi dan improvisasi dengan sedikit perubahan).

Mau menjawab toh juga sudah menjawab, mau mengeles (ini bahasa Indonesianya apa?) toh juga sudah tertulis. Jadi, ia memegang teguh pepatah “Silent is Gold”. Hehe, aku pun jika berada dalam posisinya juga akan berbuat hal serupa. Tujuannya, untuk meminimalisir kesalahan yang diperbuat. Terus terang, terkadang kita belum mampu memperkirakan hal apa saja yang terjadi jika kita menuliskan hal yang seperti ini. Sebab, semuanya belum terbayang sama sekali. Seiring waktu akan semakin banyak pengalaman yang terjadi sehingga kita akan makin awas serta waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi. Biasanya, dengan banyak pengalaman juga kita malah akan mampu membaca pikiran interviewer untuk menebak apa saja yang akan ditanyakan. Istilahnya, Practice makes perfect. Berbincang-bincang dengan rekan sesama pelamar juga akan memberikan masukan yang positif dan konstruktif agar kita menjadi lebih siap dan pe-de.

Kuncinya, memang kita harus mempertanggungjawabkan apa saja yang sudah kita tuliskan. Sama halnya dengan sewaktu ujian skripsi bagi yang sudah menjalaninya, atau mungkin seminar hasil atau proposal. Sama saja. Bedanya, interview itu memerlukan sesuatu hal ‘lebih’ dari Anda sebagai calon pegawai yang akan di-hire oleh perusahaan. Apa yang mau Anda ‘jual’? Kemampuan yang seperti apa? Jangan sampai Anda tidak bertanggungjawab dengan Curriculum Vitae, atau malah membohongi. Seperti, menulis pandai komputer program Minitab ataupun Adobe Illustrator atau Auto Cad atau Catia, contohnya. Tetapi, ketika dites, Microsoft Office Excel saja masih perlu waktu untuk mengoperasikan. Hehe, sebenarnya saya juga takut dengan hal ini. Makanya, sebelum melamar, asahlah dulu kemampuan Anda. Klasifikasikan juga mana yang sesuai dengan Anda. Jika melamar ke perusahaan yang berkaitan dengan teknologi pangan, seperti PT GarudaFood, atau PT Indofood Sukses Makmur, atau PT Nestle, bidang Quality Control atau Research and Development, sertifikat yang mendukung juga perlu dicantumkan, seperti pernah menjadi asisten Laboratorium Rekayasa dan Sistem Produksi. Yang lainnya, pernah mengikuti seminar nasional “Teknologi Pangan”, kuliah tamu “Teknologi Fermentasi”, short course “Halal dan Hygiene Food”. Atau jika pernah mengikuti pelatihan ISO 9001:2000, ISO 14001:2004, HACCP, dan lain-lain. Jujur, yang terakhir ini saya belum punya. Jadi, untuk sementara belum bisa saya lampirkan.

Ataupun, jika Anda tertarik melamar ke perusahaan PT HM Sampoerna, PT Bentoel, PT Aneka Kompos Bagas, bidang manajemen, silakan juga sertakan sertifikat yang berhubungan. Seperti pernah menjabat sebagai asisten Laboratorium Manajemen dan Sistem Industri, atau pernah mengikuti kuliah tamu “Teknologi Informatika”-nya Onno W. Purbo, atau sempat ikut kursus desain grafis atau program MYOB, semuanya saling bersinergi dan bisa mendukung. Dan, ketika melamar ke bank Mega Internasional, BNI ’46, BRI, BTN Syariah, jangan lupa sertakan sertifikat pernah mengikuti kursus Bank Syariah (kalau ikut), dan lain-lain. Yang jelas, jangan sampai terbalik. Ketika hendak melamar bidang QC, ternyata hanya melampirkan sertifikat pernah mengikuti seminar nasional, itupun berkaitan dengan Kependudukan, misalnya plus asisten Sistem dan Teknologi Informasi. Tetap akan dipertimbangkan, hanya memang bukan prioritas yang utama. Bisa jadi diurutkan menjadi kedua terakhir dari seribu lima ratus surat yang masuk. Hal ini, tentu saja bisa dilakukan pengecekan sebelum mengirim surat. Dan, jangan terlampau banyak melampirkan piagam atau sertifikat yang dimiliki. Cukup yang utama saja. Jangan sampai perusahaan mengira Anda seperti mengirim bundel majalah yang baru saja dijilid. Hehe...Nanti eman-eman kalau dikiloin..

Mengirim via internet alias e-mail juga perlu teknik tersendiri. Banyak sekali tips dan trik yang bisa Anda dapat dari mengunduh internet. Sebelumnya, uraikan surat lamaran kerja Anda pada badan surat elektronik. Nah, biasanya tinggal attachment yang berjumlah lima file. Pertama, lampirkan curriculum vitae Anda yang sudah diberi foto berwarna Anda berpakaian jas rapi. Kedua, scan ijasah terakhir Anda. Ketiga, scan transkrip nilai Anda. Keempat, sertifikat paling bernilai buat Anda. Kelima, piagam penghargaan yang paling bagus buat Anda. Perhatikan juga ketentuan tentang maksimal kapasitas file yang biasanya tertulis di lowongan kerja. Biasanya sih tidak lebih dari 100 kb, sebab jika terlampau banyak, download file menjadi lebih lama sehingga perusahaan akan malas membukanya. Oya, tiba-tiba ingat lagi. Teman saya pernah mengirim file Word 2007. Ternyata, ia baru sadar, Word 2007 tidak bisa dibuka pada Word 2003. Harap diingat, hampir seluruh perusahaan saat ini masih mempergunakan Microsoft Office 2003. Jadi, jangan coba-coba, biar terlihat keren pakai Word 2007, eh..tak tahunya malah tidak bisa dibaca. Begitu sekelumit tips yang bisa Anda coba terkait dengan pengiriman via email.

Kembali masalah pengalaman teman-teman saya yang di atas. Demikianlah pengalaman teman-teman saya tentang apa yang sudah dituliskan dan pengalaman ketika mengirimkan surat lamaran kerja. Mungkin, masih banyak pengalaman Anda ketika berhadapan dengan interviewer, lalu ditanya macam-macam. Dan, sudah banyak juga pengalaman Anda ketika mengirimkan surat lamaran kerja, baik menggunakan e-mail atau via pos. Semuanya akan menjadi pengalaman yang sangat berharga, terlebih dengan cara belajar dari pengalaman orang lain. Satu lagi, jika ada perusahaan yang menyediakan alamat e-mail, sebaiknya memang menggunakan fasilitas tersebut, selain lebih irit, juga efisien, cepat dan mudah. Tidak perlu banyak ongkos. Jika tidak diberikan fasilitas alamat email, melainkan PO BOX serta alamat perusahaan, pengiriman via pos tetap yang utama. Hanya saja, jangan lupa, perhatikan sungguh-sungguh profil perusahaan dan posisi yang Anda apply, sebelum mengirimkan surat lamaran kerja. Hal itu untuk menghindari sesuatu terjadi di luar dugaan sehingga meminimalisir hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang Anda inginkan.


Read More......

Apa Favoritmu?

Belakangan ini, dunia sastra, khususnya, dihebohkan oleh munculnya novel yang sungguh sangat fenomenal – mungkin teman-teman yang mengikuti perkembangan beritanya sudah tahu – Laskar Pelangi. Karya seorang karyawan PT Telkom yang sama sekali tidak pernah bergelut di bidang kepenulisan atau sastra sama sekali, Andrea Hirata. Sosok yang sampai kini tetap rendah hati, bersahaja, dan penuh dengan ide-ide luar biasa.


Sebenarnya, dulu sebelum novelnya meledak, profil Andrea sudah wara-wiri diulas di pelbagai media cetak maupun elektronik. Bahkan sempat diwawancarai Andy F Noya dalam Kick Andy di Metro TV. Namun, saya masih belum sepenuhnya bergeming. Hingga suatu saat, pada hari Sabtu, tanggal 26 Januari 2008 kemarin ketika berkunjung ke TB. Toga Mas, saya melihat tumpukan novel-novel best seller, ada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Ada lagi novelnya Habiburrahman El Shirazy yang juga tak kalah fenomenal, Ayat-Ayat Cinta –bahkan sudah difilmkan oleh Hanung Bramantyo.

Terus terang, saya termasuk orang yang harus tahu dengan apa yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan orang. Padahal, saya sama sekali belum baca novelnya, meskipun masyarakat maupun media dengan penuh semangat membicarakan kedua novel yang so amazing ini. Maka, jadilah. Saya terkena ‘imbas’ hegemoni media yang dengan luar biasa mencitrakan novelnya sebagai yang terdepan, teratas, plus penuh dengan amanat. Bahkan, dikisahkan sampai ada yang menangis, tidak tidur semalaman, atau yang lebih heboh, seorang anak jadi sadar dengan pendidikannya hanya karena membaca Laskar Pelangi. Siapa yang tidak merinding dengar kisah seperti ini, oleh novel karya anak bangsa? Padahal pasca hadirnya novelis wanita yang mengumbar seksualitas, emansipasi, seperti Ayu Utami, Fira Basuki atau Dewi ‘Dee’ Lestari, seolah novel di Indonesia bercitra gelap dan dianggap ‘rendah’. Hingga kemudian marak chicklit dan teenlit yang disukai gadis-gadis remaja oleh keringanan ceritanya. Baru saya tahu, ternyata ada juga novel berkualitas yang laris di pasaran.

Setelah membaca dua-duanya, Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, baru saya tahu mengapa banyak orang sampai minta hingga difilmkan segala. Laskar Pelangi bertema besar tentang pendidikan, sedangkan Ayat-Ayat Cinta bertema besar keteguhan cinta yang ditulis dengan bahasa puitis, bersayap, dan mendayu-dayu. Bagi saya pribadi, Ayat-Ayat Cinta kurang begitu bagus. Maaf, sebelumnya jika ada yang langsung komplain. Bagaimana mungkin jika novel yang ditasbihkan sebagai novel terlaris pertama mengalahkan Harry Potter dibilang kurang begitu bagus? Namanya interpretasi bisa saja berbeda setiap orang. Bagi saya, Ayat-Ayat Cinta terlampau sempurna untuk ukuran manusia di bumi, dengan alur hidup tokoh utama yang di mata saya terlampau perfect (mana ada tokoh seperti Fahri di zaman sekarang yang serba beruntung dicintai oleh empat wanita sekaligus dan semuanya cantik-cantik?), dengan kondisi hidup yang dramatis – ingat, dijebak oleh wanita yang mengaku dihamili olehnya sehingga ia harus masuk penjara? Hm, selain itu, saya juga kurang begitu suka dengan gaya bahasa yang digunakan Kang Abik, panggilan akrab novelis ini, sebab terlampau transparan, tidak ada diksi yang menggoda, apalagi susunan kata lincah yang membuat efek emosional. Semuanya menjadi datar dan hambar, biasa saja. Meskipun begitu, karena oleh muatan dakwah Islaminya yang cukup kental, tidak terasa nuansa menggurui, novel ini tetap terbilang sebagai a must read book.

Lanjut ke Laskar Pelangi. Novel ini berkisah tentang persahabatan sepuluh orang di SD Muhammadiyah, daerah Belitong, yang selalu bersemangat dalam menempuh pendidikannya dan bercita-cita menjadi orang sukses. Bu guru Muslimah dan Pak Hanafi, sang kepala sekolah turut menempa pengetahuan anak-anak tersebut. Perlu diketahui, novel ini merupakan pengalaman hidup Andrea Hirata sendiri. Di sini, ia tidak banyak diceritakan, ia hanya berkisah tentang teman-temannya. Yang mengharukan, anak bernama Lintang – jeniusnya luar biasa – tetap bisa tertawa-tawa, meskipun menempuh jarak sejauh 80 kilometer pulang pergi hanya dengan mengayuh sepeda, lalu hanya sempat bernyanyi “Padamu Negeri” di akhir pelajaran sekolah karena telat. Ada lagi anak yang lainnya, yang tetap semangat meskipun kondisinya benar-benar kekurangan. Tapi, dari semuanya yang membuatku tiba-tiba berefleksi dan kontemplasi adalah ketika Lintang yang putus sekolah – padahal sebentar lagi ujian nasional SMP – sebab ayahnya meninggal. Ia menjadi figur penopang ekonomi keluarganya sehingga harus keluar sekolah, mencari penghidupan sendiri.

Tiba-tiba, aku tersadar oleh kondisi tersebut. Betapa tidak adilnya kondisi seperti ini. Saya seperti ditampar sekeras-kerasnya. Bisa jadi, di dekat kita, sebelah kost, di perkampungan kumuh, berdesak-desakan anak-anak kecil yang tidak bisa bersekolah dan menanti uluran tangan kita semua. Ketika membayangkan hal tersebut, tentu saja saya termasuk kaum yang diberikan keberuntungan luar biasa, mampu bersekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, kemudian duduk di bangku kuliah. Sempat mengenyam bangku pendidikan, sementara jutaan anak-anak lain bekerja keras membanting tulang tanpa pernah tahu rasanya duduk diajar pelajaran Biologi, teori evolusi Darwin, teori ekonomi John Maynard Keynes, mengerti kisah inspiratif Hellen Keller, diagram Cartesian, menelusuri keindahan museum De Louvre, Madame Tussaud, memahami komponen listrik, semikonduktor, Coppernicus, postulat Newton, hingga berkelana menembus imaji padang sahara, Terusan Panama, segitiga Bermuda, atau Karl May yang asyik dengan senapan peraknya. Ah, dan apa yang bisa saya perbuat? Sudah saya pergunakan apa saja kesempatan yang telah diperoleh? Saya hanya duduk diam tanpa mengenal sepenuhnya hal tersebut. Padahal dengan kesempatan tersebut, saya seharusnya bersyukur lalu mengikuti pelajaran dengan riang gembira, tekun dengan pelajaran, meraih cita-cita setinggi langit.

Sekali lagi, saya merasa tertampar. Rasanya keberuntungan saya belum cukup untuk menembus semua itu. Bagaimana bisa saya yang diberi kemudahan dalam menuntut ilmu masih bermalas-malasan, tidak semangat? Bahkan, menghafal sebisanya? Kuliah hanya pada saat dibutuhkan, tidak mengerjakan tugas, ogah-ogahan mendengarkan pelajaran dosen. Sedangkan, yang lainnya malah sudah berjumpalitan bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi kontras ini membuat perut saya serasa diaduk. Munculnya novel ini seperti membuka pikiran saya bahwa pendidikan di Indonesia memang masih terlampau mewah bagi anak-anak miskin seperti mereka. Novel ini juga membuka mata saya bahwa jangan terlalu menjadi sosok individualis yang berlebihan.

Berkutat dengan pencarian kerja yang memaksa diri juga sebagai perwujudan hal tersebut. Terlebih lagi bekerja secara brutal tanpa memikirkan orang lain, apalagi masyarakat. Diri kita terlampau berharga untuk kita habiskan sendirian. Sudah sepatutnya kita juga sediakan waktu buat mereka yang membutuhkan, senyampang masih ada waktu, lebih baik tenaga, dan pikiran juga ada buat orang lain. Bahkan, dengan berpikiran seperti itu, juga akan mampu membuka rezeki kita dalam meraih pekerjaan yang diinginkan. Waduh, jadi seperti menggurui ya? Saya hanya curhat saja sesungguhnya. Kenapa sih kita seperti sibuk mencari identitas diri sendiri hingga dibutakan oleh kondisi sekitar kita? Cobalah lihat di sekitar kita dengan kondisi sosial yang perlu dengan uluran tangan. Pernah saya dulu mencoba terjun dalam bidang kesehatan, hanya saja kekurangan tenaga, sehingga akhirnya putus di tengah jalan. Banyak yang bisa dilakukan, semisal mengajar anak-anak kurang mampu atau terjun di dalamnya. Ah, saya hanya membayangkan saja. Jika satu orang dermawan tergerak karena membaca novel Laskar Pelangi ini. Dan, banyak sekali yang kemudian bakalan tergerak, pasti Indonesia tidak lama lagi bakal bangkit dari kemiskinan. Sungguh, novel yang mampu mencerahkan.

Terus, tujuannya tulisan ini apa? Maaf, jadi agak melantur. Nah, setelah saya baca keduanya, Laskar Pelangi memang lebih nampol. Bahasanya lugas, diksinya cantik, alurnya tidak terduga, dan yang penting membawa misi tentang pendidikan. Ternyata, anak kecil pun sudah sadar akan arti pentingnya pendidikan. Hampir mirip dengan film Denias Senandung Di Atas Awan. Hanya saja, novel ini bercerita tentang satu grup anak-anak dengan segala latar belakang dan kisah masing-masing. Di bagian ending novel juga diulas sekilas tentang profesi masing-masing anak kala sudah dewasa. Yang membuatku kaget bukan alang kepalang, ketika Ikal, panggilan Andrea Hirata, mendapati Lintang sedang bekerja sebagai sopir pengangkut barang. Astaganaga, sosok jenius itu, yang putus sekolah, yang mampu membungkam guru sekolah favorit dengan argumennya tentang cincin Newton saat lomba cerdas cermat, yang menjadi andalan SD Muhammadiyah, yang dicintai teman-teman sekolahnya, yang menggerakkan mimpi teman-temannya untuk selalu memiliki cita-cita setinggi langit, yang bekerja demi keluarganya, yang terseok-seok bersekolah dengan menempuh 40 kilometer, yang tetap tersenyum dalam kondisi sesulit apapun, yang ditangisi seluruh teman-temannya dan guru sekolah ketika berpamitan putus sekolah- rasanya membuatku harus trenyuh, tak tahu apalagi yang kuperbuat. Andai dia meneruskan sekolah, dengan otak cemerlangnya itu, ia pasti bisa jadi doktor, profesor yang berhati tulus, mulia dan berusaha memajukan pendidikan bangsanya ini demi kemaslahatan umat. Orang seperti itu jauh lebih punya nilai daripada wakil-wakil rakyat saat ini yang terlampau memuja dirinya, merasa penting, padahal tak ubahnya seperti tikus yang menggerogoti duit rakyat, mengkhianati amanah rakyat yang diembankan kepadanya. Lalu berjalan-jalan ke luar negeri, meminta fasilitas berlimpah, dan asyik tidur ketika rapat berlangsung. Potret buram majelis perpolitikan kita.

Simak kata-kata Lintang pada Ikal ketika mereka bertemu di salah sebuah toko serba ada di Jakarta. “Sudahlah, Ikal. Jangan menangis. Memang ini rezekiku, “ kata Lintang pada Ikal, lalu diusapnya air mata di pipi Ikal. Waktu itu, Ikal membayangkan, andai Lintang meneruskan sekolahnya, andai...hanya andai saja, sebab hal itu tak pernah terwujud, dan Lintang masih terseok dengan usahanya sebagai buruh, memeras keringat mengejar setoran. Ah..mereka orang pandai yang kurang beruntung.

Sungguh, teman-teman, jika ada yang suka membaca, silakan luangkan waktu untuk membaca novel ini, Laskar Pelangi. Salah sebuah novel yang mengguncang, memberikan amanat tentang pentingnya pendidikan. Seusai membaca ini, teman-teman akan tergerak untuk segera menyelesaikan pendidikan dan memberikan sesuatu yang bernilai demi kemajuan bangsanya. Atau, mungkin kalian malah punya novel sendiri yang bernilai untuk kehidupan sendiri? Atau, buku komik, atau yang lainnya? Apapun itu, yang jelas setiap apa yang kita baca, diharapkan mengandung nilai kebermanfaatan yang positif. Jangan sampai hanya mengandung kesia-siaan belaka tanpa ada yang bisa dipetik, diambil manfaatnya. Hanya teman-teman sendiri yang mampu menginterpretasikan, lalu memetik amanat yang terkandung.

Read More......