Selasa, 20 November 2007

Masa Lalu dan Bayang-Bayang

Masa lalu seperti sebuah bayang-bayang yang selalu menemani kemanapun kita pergi, ataupun melangkah. Bahkan sekalipun hanya bergerak. Dia bisa membuat kita yakin dalam perjalanan namun bisa pula akan selalu menghantui kita jika kita menganggap bayang-bayang itu makhluk hitam, besar, nan mengerikan. Ia tidak bisa dihilangkan, tidak pula bisa dihapus meskipun hanya sebagian kecil, sepotong, atau secuil.
Masa lalu akan selalu bergeser seiring langkah kita. Ia melekat dan menempel kuat. Ia ada untuk mengiringi kita, mengambil kesimpulan, lalu menyelaraskannya dalam harmoni kehidupan kita sebagai manusia.
Masa lalu bukan sebagai kenangan yang menyakitkan hingga kita selalu merasa sesak seperti terkurung oleh kotak Pandora yang membelit jiwa ataupun sebagai sebuah romantisme yang terlalu menyesatkan dan membuai hingga kita tidak lagi mampu melangkah ke depan. Menatap masa depan, hari-hari selanjutnya. Ia bahkan membantu kita, berusaha mengingatkan kita sebagai hamba Allah yang fana dan penuh dosa agar berusaha selalu mengambil sisi positif dari apapun yang telah terjadi di masa lalu. Sebuah hikmah agar kita mampu terus belajar dari seluruh jejak langkah yang telah terukir dalam kehidupan kita. Apakah itu membekas penuh luka serta terlampau manis. Kita tak hendak terlampau memuja masa lalu sebab kita hidup di masa kini agar selalu berusaha lebih baik lagi menuju masa depan. Dan, masa lalu berfungsi sebagai landasan agar kita senantiasa menjadi hamba-Nya yang bersyukur dengan selalu mengingat-Nya serta memohon agar Dia menjaga kita dari jebakan masa lalu yang terlalu membelit.

Read More......

Hari Pahlawan and The Movie Part II

Pada tulisan sebelumnya, sudah dijabarkan alasan saya menonton film yang pada awalnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan Hari Pahlawan, apalagi tersangkut paut dengan masalah nasionalisme, apalagi patriotisme dan sejenisnya. Keinginan saya menonton film ini murni oleh gerakan bawah sadar saya yang menginginkan sebuah hiburan di kala hari libur dan kebetulan pula pada tanggal 10 November. Ah, terus apa yang membuat saya tercerahkan oleh film-film ini?

Big Fish, membuat saya sontak teringat dengan kondisi ayah saya di rumah yang juga masih dalam kondisi sakit. Bagi saya, ayah saya adalah pahlawan saya, pejuang bagi saya, yang seluruh hidupnya dipergunakan untuk memperjuangkan hidup dan nasib keluarganya. Di mata saya, ayah merupakan sosok heroik yang tanpa banyak basa-basi lebih kelihatan tindakannya daripada sekadar berbicara yang tanpa makna. Memang, manusia tak ada yang sempurna. Tapi yang saya ingat, dari seluruh hidupnya, beliau sudah terlampau lelah memikirkan nasib keluarga, terlebih anaknya. Ketika masih kecil, yang paling saya ingat, beliau selalu menyempatkan diri sepulang kerja – dalam kondisi lelah – berbelanja sejenak ke salah sebuah swalayan terdekat untuk membeli mainan. Sepanjang perjalanan itu, biasanya saya dipanggul di atas. Tentu, banyak sekali mainan yang saya miliki karena hampir setiap hari saya mengajak beliau untuk pergi keluar.

Yang lainnya, setiap pagi saya juga terbiasa meminta ayah saya membuatkan satu gambar tentang hewan atau benda hidup. Entah apapun itu. Di mata saya, gambar ayah selalu bagus dan seolah-olah ‘bernyawa’. Saya senang sekali membayangkan pada suatu hari nanti, gambar-gambar – khususnya hewan itu – tiba-tiba hidup dan menjadi kawan bermain saya. Sementara itu, saya ciptakan imajinasi tentang hewan yang jahat sehingga kawan-kawan saya, hewan yang baik bisa melawannya dan membela saya. Ikan hiu dan buaya yang sedang bergelut dan perlambang kota Surabaya yang digambar ayah saya masih tersimpan rapi dalam ingatan saya, bahkan hingga saat ini. Ah…terlampau banyak kenangan, namun bagi saya, ayah juga teman, kawan, sekaligus ayah saya yang terbaik. Beliau pencerita yang baik – selalu sabar menemani anaknya belajar dan bertanya akan hal apapun bahkan hingga larut malam sekalipun. Sewaktu kecil, saya juga suka mencatat kata-kata dan istilah sukar yang saya dapatkan dari majalah Gatra maupun Tempo. Kemudian saya suka sekali mendiskusikannya dengan ayah, lalu mencatat setiap keterangan yang beliau berikan lengkap dengan contohnya. Ibu seringkali sebal dengan kami berdua yang berbicara ramai sehingga mengganggu tidur malam beliau. Namun, beliau maklum dengan kondisi ini. Ah, maafkan saya Ibu….

Waktu itu juga, saya berangan-angan suatu saat nanti harus membuat buku tentang apapun, yang penting memiliki makna bagi saya sendiri. Bahkan dulu saya juga sudah membuat semacam platform untuk judul buku apa yang akan saya buat, berikut dengan sub judulnya Yang saya ingat, berkaitan dengan sosiologi dan permasalahan yang terkait dengan kondisi masyarakat dan kultural. Sungguh, bagi saya, ayah saya lebih dari seorang pahlawan nan heroik, karena beliau memang pejuang untuk keluarganya, khususnya anak-anaknya. Jika dalam film Big Fish, ayahnya pencerita yang baik, maka dalam kehidupan nyata, ayah saya jauh lebih lihai dan mumpuni dalam hal bercerita. Beliaulah yang patut diberikan gelar selengkap-lengkapnya di mata saya dalam keluarga kami karena melalui cerita beliau, kedewasaan dan usia saya teriring bersama.

The Queen, lebih mendekati tentang makna nasionalisme dan patriotisme. Kisah seorang ratu dari dinasti terbesar sepanjang sejarah dunia yang dituntut agar mampu menyesuaikan idealismenya dengan perubahan zaman dan modernisasi. Bagaimana istana yang selama ini ditata dengan gaya konservatif harus mampu melebur dengan kondisi global masyarakat Inggris yang haus akan setiap detail kehidupan keluarga kerajaan. Seperti sebuah babak baru kehidupan selebritis, tak pelak mereka juga harus menyesuaikan dengan kondisi ini. Bagaimana bersikap dan berperilaku, semuanya akan dapat sorotan publik sebab kehidupan mereka ibarat seperti dalam rumah kaca.

Nasionalisme macam apa yang diuji terhadap ratu yang anggun namun keras hati ini? Ketika kematian menantu yang menjadi kesayangan rakyat negerinya dan seluruh dunia, namun sangat dibencinya, Putri Diana. Saat inilah idealismenya harus diuji, ketika perbenturan terjadi secara tajam antara keinginannya dengan keinginan rakyatnya. Sang rakyat menuntut atas perubahan kondisi elementer dalam keluarga kerajaan, agar ratu bersikap lunak kepada People’s Princess – istilah buat Lady Di yang diciptakan oleh Tony Blair – sehingga kecaman tidak lagi mengalir. Namun, beliau dituntut juga harus membawa nama keluarga kerajaan, sebuah system monarki yang usianya terbentang lebih dari sepuluh dekade. Dia tidak bisa didikte, dia harus melawan. Toh, dia penguasa kerajaan sekaligus rakyatnya. Tapi, kondisi seperti itu berlaku hanya dahulu kala ketika raja atau ratu merupakan penentu kebijakan tunggal sehingga rakyat musti patuh dan tunduk. Penguasa absolut yang berkedok bahwa perintahnya sekaligus titah yang berasal dari langit, Tuhan penguasa alam. Sekarang kondisinya tentu berbeda, ketika rakyat di atas segalanya, ketika kehendak rakyatlah yang berkuasa dan menentukan segala sesuatu berikut juga tentang keluarga kerajaan. Ah, dilematis memang, ketika di satu sisi ratu ingin meneruskan tradisi kerajaan yang kukuh oleh benteng konservatif dan di sisi lainnya ia harus mengakomodasi kebutuhan rakyatnya. Lagipula, bukankah sudah tugasnyalah sebagai ratu dalam mengayomi rakyatnya dan memenuhinya?

Sebagai warganegara, ratu memiliki hak istimewa. Namun, bukan berarti sebagai ratu juga ia menafikan keberadaan sekaligus posisinya di mata rakyat. Ia hanyalah salah satu gelintir manusia yang kebetulan terlahir sebagai keluarga kerajaan dan penerus titah kekuasaan sebelumnya. Ia hanya menjalankan system yang sudah ada dan meneruskan segala tradisinya. Ia hanyalah seorang warganegara yang berkewajiban sama dengan warganegara lainnya. Bedanya sekali lagi, ia seorang ratu. Bagaimana atribut nasionalisme dilekatkan pada dua warganegara jenis ini? Antara ratu dengan warganegara lainnya?

Wartawan BBC Michael Ignatieff menulis dalam bukunya, Blood and Belonging : Journeys Into the New Nationalism, bahwa secara kultural nasionalisme sesungguhnya bisa memberi sebuah “bentuk kepemilikan” atau “primary form of belonging” kepada orang-orang yang tinggal di satu negara, baik laki-laki maupun perempuan. Rasa memiliki dan rasa kebersamaan ini memberikan landasan moral “bagi pengorbanan yang heroik, penggunaan kekerasan dalam rangka membela negara dari musuh, baik dari luar maupun dari dalam”. Ignatieff membedakan dua macam nasionalisme : Pertama, nasionalisme kewarganegaraan [civic nationalism] dimana kepercayaan utama orang-orang dalam sebuah “bangsa”, yang percaya pada kredo poliitk “bangsa” itu adalah para warganegaranya. Basis nasionalisme ini adalah warganegara. Kedua, nasionalisme etnik [ethnic nationalism] dimana orang-orang dalam suatu “bangsa” percaya bahwa mereka mewarisi kebangsaannya karena keturunannya, bukan karena pilihannya. Basis nasionalisme ini adalah etnik. “Pada dasarnya, komunitas nasional itulah yang mendefinisikan individu, bukan individu yang mendefinisikan komunitas nasional. [It is the national community which defines the individual, not the individuals who define the national community],“ jelas Ignatieff.

Dari sini, untuk memberikan atribut nasionalisme antara kedua warganegara tersebut, jelas sekali jatuh pada pilihan pertama. Kondisinya akan berbeda ketika terjadi perpecahan yang menuntut disintegrasi pada suatu bangsa. Contoh terjelas ialah ketika terjadi tuntutan rakyat Aceh yang menginginkan kemerdekaan sendiri. Alasan yang dikemukakan ialah bahwa warganegara mereka bukan karena sebuah pilihan, melainkan ada oleh keturunan dan etnik. Bahwa sejarah turun temurun akan berkisah, kondisi rakyat tersebut sudah berbeda dengan bangsa Indonesia, dan kondisi ini dipendam rapat-rapat. Bahkan pasca darurat militer tahun 1990–an yang diberlakukan sewaktu pemerintahan Soeharto berkuasa, [Ulasan yang lebih lengkap ada pada artikel tentang Nasionalisme dan Rakyat Aceh] permasalahan ini makin merebak, ditunjang oleh perilaku tentara TNI yang berkedok mengamankan, namun malah membuat masalah. Sebut saja, penjarahan, penggeledahan paksa, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan. Akibatnya, banyak terjadi pengungsian besar-besaran keluar dari Aceh. Nah, yang saya garis bawahi di sini adalah setiap warganegara sebenarnya berhak atas nasionalisme-nya sendiri. Pembungkaman yang dilakukan untuk menyalurkan aspirasi akan mengebiri hak-hak individual sebagai warganegara. Bukannya melestarikan bibit-bibit separatisme, namun di sini perlu ditekankan sebagaimana asap yang takkan keluar tanpa ada api, maka bibit itu muncul jika tak ada sebabnya. Kemunculan itulah yang harus perlu ditelusuri mengapa sebabnya. Luka yang hanya disembuhkan sekilas, takkan bisa bertahan lama sembuhnya. Kesembuhan hanya terjadi pada permukaan, sebagaimana fenomena gunung es. Untuk itulah, perlunya kondisi dimana penanaman nilai-nilai nasionalisme harus diberikan semenjak dini. Setiap individu mesti punya pilihan dalam memutuskan apakah dirinya nasionalis atau bukan, tergantung pada kebutuhannya, jika ternyata dia bukan, apakah sikap ini muncul atas dasar tekanan, paksaan, ataukah dari diri sendiri. Semuanya perlu mengejawantah dalam dirinya secara benar. Rumusan ini susah jika disamaratakan pada setiap warganegara sebab tak mungkin meminta seluruhnya agar cinta pada bangsanya secara utuh tanpa sebab.

Apa yang menyebabkan muncul nasionalisme? Apa hanya karena saya tinggal di negara tanah lahir saja? Atau karena memang keinginan dan hasrat saya dengan sepenuh hati? Sebab memaknai nasionalisme secara parsial, hanya akan menciptakan kesemuan belaka yang tanpa ada jawabannya secara tuntas. Perlunya pemaknaan kembali nasionalisme seharusnya tercipta sejak dini, ketika anak belajar mengenal tanah airnya dengan mendalam. Bukan hanya dikenalkan lewat doktrin-doktrin buku pelajaran belaka yang bahkan – penulisnya sekalipun tidak tahu makna dan artinya. Jika hendak memberikan pelajaran soal ini, seharusnya belajar bagaimana menghargai pahlawan secara benar, dengan cara belajar mengenal buadaya, suku bangsanya sendiri, daerahnya sendiri, belajar menghargai orang lain, dan bahasanya sendiri. Seluruhnya dikenalkan secara terpadu. Namun, jangan lupa pemberian contoh nyata jauh lebih efektif daripada hanya sekadar memberikan wejangan [Lebih lengkap ada pada artikel Pemaknaan Kembali Nasionalisme]. Ah, apa mungkin Taufik Ismail benar juga ketika ia menulis “Aku Malu Jadi Orang Indonesia”. Ungkapan ide dan ekspresinya membuktikan ia sebenarnya ingin sekali mengungkapkan cinta Indonesia. Ungkapannya ini dibuktikan lewat tulisannya yang berharap bukannya orang lain jadi seperti dirinya, melainkan menumbuhkan minat agar orang lain peduli terhadap bangsanya sendiri. Sebab siapa lagi yang bakal peduli dengan bangsanya selain bangsanya sendiri. Orang-orang apatis hanya akan berkedok dia peduli, tapi di belakang dia malah merugikan bangsanya sendiri. Pencitraan yang dilakukan hanya kamuflase belaka yang menipu rakyat Indonesia. Inilah yang disebut pengkhianat bangsa, ia telah mengkhianati perjuangan Soekarno, Hatta, dan Sutan Syahrir dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Ironis sekali memang, jika para pejabat meminta seluruh rakyat – khususnya rakyat yang rentan dengan disintegrasi seperti Aceh ataupun Papua – agar menggalakkan jiwa nasionalisme, tetapi dia mengeruk harta rakyat sendiri. Bahkan menjual bangsa kepada negara lain dalam bentuk privatisasi atau meminta bantuan dan mengemis dana pinjaman. Sebab nasionalisme memang bukan muncul atas dasar paksaan, namun atas dasar kesadaran yang membangkitkan sikap cinta tanah air. Peduli kepada bangsanya sendiri, peduli akan kemajuan bangsa, menuju cita-cita luhur bangsa Indonesia agar kesejahteraan rakyat dapat tercapai, kecerdasan bangsa, dan melakukan swadaya di seluruh lini kehidupan. Untuk itulah, nasionalisme bukanlah tumbuh atas dasar keturunan, sebab ia melekat pada masing-masing individu, dan seiring kedewasaan ia mencapai wujudnya dengan memilih. Apakah ia nasionalis atau pengkhianat bangsanya sendiri?

Dan, rakyat Inggris pun juga sama ketika ditanya soal nasionalisme. Bahwa mereka peduli kepada ratunya sebagaimana mereka peduli kepada negaranya sendiri. Mereka mengharapkan perbaikan, penyesuaian dengan nilai-nilai modernisasi. Tak mungkin bukan idealisme konservatif akan dapat bertahan untuk seterusnya tanpa mengalami adaptasi? Sebab, tidak ada yang mengalami perubahan selain perubahan itu sendiri. Dan, ratu Inggris pun memilih dirinya agar dapat mengayomi rakyat dan memenuhi keinginan mereka. Bukan apa-apa. Nasionalisme itu dapat disederhanakan dengan kepedulian kepada bangsanya sendiri. Jika ia tak lagi peduli, maka ia tak lagi nasionalis. Engkau dapat juga memilih berada pada jalur yang sebelah mana.

Read More......

Hari Pahlawan and The Movie Part 1

Sabtu, 10 November 2007
Bertepatan dengan hari Pahlawan, seharian saya merayakannya dengan cara berbeda. Sebenarnya tidak tepat pula dikatakan merayakan karena bagiku kondisi ini sama sekali tidak berhubungan dengan hari Pahlawan, apalagi dengan patriotisme maupun nasionalisme yang makin banyak dipertanyakan eksistensinya belakangan ini. So, apa yang kulakukan pada hari itu? Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menonton film. Jam 11 siang seusai mencuci baju yang lumayan banyaknya, saya pergi menyewa film di rental yang tak jauh letaknya dari kos. Film-film apa sajakah yang kusewa? Sudah lama sebenarnya saya tertarik ingin menonton Big Fish yang dibintangi Ewan McGreggor – dan inilah saatnya, kemudian The Queen (penasaran karena Helen Mirrer berhasil menyabet Oscar 2007 sebagai aktris terbaik), lalu Bridge to Terabithia (posternya pertama kali kulihat di Matos dan eye catching abis), terakhir The Painted Veil (resensi filmnya digambarkan dengan sangat indah di Kompas).

Maukah Anda kuceritakan? Mungkin sebagian besar dari Anda, menganggap film-film di sini terlalu drama banget dan anak-anak. Sudahlah, patriotisme ataupun nasionalisme ternyata tidak melulu harus timbul dari film yang mengumbar action maupun kekerasan. Bahkan, dari film sekelas kartun pun ternyata kita jadi makin mencintai bangsa sendiri. Sebentar, sepertinya perlu diluruskan terlebih dahulu nih. Katanya di awal cerita, tujuanku menonton film ini tak ada kaitannya dengan hari Pahlawan, lalu kenyataannya? Nah, itulah yang hendak kuungkapkan. Memang betul sedari awal, saya tak hendak menyinggung hal ini, namun realitanya seusai menonton film, saya semacam mendapatkan pencerahan tersendiri. Tepatnya, ada suatu makna yang bisa kuambil dari sini, bukan hanya kukorelasikan dengan kehidupan sehari-hari, melainkan juga bisa kuhubungkan dengan sesuatu yang lebih dalam daripada itu. Yang berkaitan dengan tanah kita, bangsa kita sendiri. Baiklah, kita kupas satu per satu filmnya.

Big Fish, sebuah cerita satir tentang perjuangan hidup seorang ayah yang dicintai dimana-mana, kecuali anak lelakinya satu-satunya. Ironis memang, Bahkan, mereka tidak lagi berbicara setelah anaknya bekerja di daerah berbeda selama lebih dari 3 tahun. Kondisi mereka dipertemukan ketika sang ayah hendak menemui ajalnya alias sekarat, namun masih digambarkan cukup sehat. Semenjak kecil, sang anak dicekoki oleh cerita-cerita fantastis sang ayah yang berkaitan dengan petualangan sang ayah mengarungi daerah-daerah mistis dan bertemu dengan orang-orang aneh nan imajinatif. Sang anak selalu mendengar cerita-cerita yang baginya so impossible terjadi di dunia realitas. Parahnya, ia tidak lagi membedakan cerita ayahnya, mana yang sesungguhnya mana yang bukan. Tak pelak, di satu sisi sang anak merindukan kebersahajaan sang ayah yang apa adanya tanpa perlu ditutupi maupun diberi bumbu cerita bombastis. Di sisi lainnya, sang ayah memang sudah merasa sepatutnya ia bercerita sesuai dengan jalan hidupnya selama ini. Hal yang paling aneh dalam ceritanya ialah tentang ikan besar alias big fish. Nah, akhir cerita ditutup dengan ending mengejutkan plus mengharukan. Sepanjang film ini, penonton banyak disuguhi perjalanan hidup sang ayah di waktu mudanya yang penuh petualangan, mulai dari menyelamatkan penduduk kota dari raksasa, berteman dengan raksasa bekerja di sebuah sirkus demi bertemu calon istri tercintanya, serta masuk di sebuah daerah damai yang penuh dengan penduduk ramah. Benarkah semua cerita di atas? Entahlah, yang jelas dugaan sang anak ada benarnya juga. Bahwa cerita sang ayah tercampur antara fiksi dan realitas. Atau ini sebenarnya sebuah film yang dikatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, dimana suatu kondisi maya yang dikondisikan sebagai realitas sehingga penonton atau pelsayanya merasa apa yang dijalani dan dialaminya sebagai suatu realitas tersendiri. Contoh paling nyata ada di dunia hiburan Disneyland. Pengunjung merasakan betul apa yang dialaminya suatu bentuk realitas yang bisa dirasakan secara fisik padahal di situ kondisinya tak lebih suatu permainan fantasi nan imajinatif. Ah, kok jadi melenceng yah…Intinya, sang anak merasa sang ayah tidak lagi mampu membedakan kondisi yang dialaminya sehingga ia menjadi skeptis. Finally, sang ayah yang terserang stroke mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit meminta sang anak untuk bercerita tentang akhir hidupnya yang membahagiakan. Tiba pada satu titik ini, mendadak saya teringat pada ayah saya yang menderita sakit serupa, yakni stroke. Sungguh, tak tertahankan lagi air mata menetes deras meskipun mungkin bagi orang lain peristiwa ini tak membekas apapun. Bagi saya, inilah suatu momen yang sebenarnya, bahwa di sinilah sebenarnya titik point dari film ini. Berdasarkan penjelasan dr. Bennet, dokter yang merawat sang ayah, cerita yang terlalu berlebihan – terutama tentang kelahiran sang anak dan big fish – didasarkan pada sejarah kelahiran sang anak yang ternyata sang ayah tidak berada di tempat. Lalu apa maksudnya? Cerita imajinatif ini dibuat dengan tujuan agar lebih menarik sehingga pendengar tidak merasa bosan. Maka, runtuhlah pertahanan sang anak yang mengira semua ini hanyalah ilusi belaka. Akhir cerita ditutup secara imajinatif. Kepergian sang ayah digambarkan dengan cara menjelma menjadi big fish dan diiringi keluarga plus seluruh teman terdekatnya yang pernah ditemuinya sepanjang hidupnya.

The Queen, sebuah film tentang kerajaan monarki terbesar di bumi ini, yakni Inggris yang dideskripsikan melalui sudut pandang Ratu Elizabeth II. Setting tahun dibuat sekitar tahun 1997, pasca pemilihan Tony Blair sebagai perdana menteri serta tragedi meininggalnya People’s Princess, Lady Diana yang menghebohkan. Melalui film ini, kita akan semakin mengerti pergulatan pikiran sang ratu dalam menghadapi keluarga, perdana menteri sendiri, dan khususnya media publik. Kegelisahannya dalam bertindak serta sentuhan humanistiknya yang menawan menjadikan sang ratu tak ubahnya sebagaimana manusia biasa yang rapuh, rentan, dan sensitif. Sang ratu yang beraliran konservatif tidak terlalu suka menonjol apalagi di-blow up pada media seperti halnya Lady Diana. Sudah menjadi rahasia umum pula jika ternyata sang ratu tidak terlalu menyukai Lady Diana yang digambarkan glamour, gila perhatian, tapi juga memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi sehingga dicintai semua orang. Sang ratu berada pada posisi yang sulit pasca kematian People’s Princess ini. Media menuntut agar sang ratu lebih terbuka, namun tentu saja ia tidak suka dibantah apalagi didikte. Hal yang dikritisi habis-habisan oleh media seperti halnya, sikap keluarga kerajaan yang tidak memberikan pernyataan seputar kematian Lady Diana, tuntutan agar keluarga kerajaan segera pindah dari istana Bristol ke Buckhingham di London, serta pengibaran bendera setengah tiang. Seiring tekanan yang bertubi-tubi dan meningkat dari hari ke hari, akhirnya sang ratu berkenan juga memenuhi seluruh tuntutan itu. Bukan apa-apa, semua itu hanya demi memenuhi keinginan rakyatnya. Yup, sebuah film yang dikombinasikan dokumenter ini terkesan riil. Sayang sekali, kehadiran pemeran yang lain seperti tempelan belaka. Pangeran Charles kurang memberikan greget yang nyata, anehnya tampangnya jauh sekali dengan Charles yang asli. Begitu pula Pangeran Philip, suami sang ratu. Sementara ibu suri malah terkesan terlalu gemuk. O ya, pemeran Tony Blair bermain lumayan cemerlang. Di akhir film, ia dan sang ratu kembali berdiskusi tentang kondisi aktual negeri. Pesan yang ditangkap dari film ini ialah ketakutan sang ratu akan penyesuaian kerajaan pada modernisasi serta sikap yang harus ditempuhnya terkait dengan media dan publik.

Bridge to Terabithia adalah film karya Walt Disney Pictures yang sebenarnya dikhususkan buat anak-anak. Namun, sebagian filmnya disisipkan kisah dan pesan filosofis tersendiri tanpa nada menggurui dan enak juga ditonton untuk semua kalangan. Alkisah, Jess anak lelaki satu-satunya dalam sebuah keluarga. Ia digambarkan pendiam, selalu diganggu teman-temannya, dimarahi orang tuanya, sedikit pemarah, namun suka menggambar. Suatu hari, sekolah mereka kedatangan murid cantik bernama Leslie Burke yang cerdas, atraktif, serba bisa, dan imajinatif. Mereka berdua berkawan akrab terlebih karena Leslie ternyata menjadi tetangga baru Jess. Berpetualang di daerah hutan, mereka menemukan dunianya sendiri dalam bermain, mencipta karakter-karakter tertentu, dan menamakan wilayah mereka sebagai Terabithia. Inti cerita ini sebenarnya simpel, namun dideskripsikan panjang dan bertele-tele. Pada menit awal, saya belum mampu menduga akhir cerita ini. Baru ketika menginjak akhir, saya tahu ada beberapa hal yang bisa dipetik, antara lain tentang persahabatan dan pesan “Janganlah takut untuk mencipta imajinasimu dengan membiarkan pikiranmu terbuka”. Menonton film ini, ingatan saya melambung pada masa kecil dimana juga memiliki teman-teman sepermainan yang juga mencipta visual imajinatif yang terkadang berlebihan. Maklum, sebagai penyuka komik, cerita anak-anak, dan novel, imajinasi saya bahkan tiba pada satu titik yang tidak terduga sebelumnya. Anehnya, seringkali imajinasi saya gunakan dalam mencipta hubungan-hubungan parallel antara komunikasi dengan kawan, guru, menghafal pelajaran, bahkan melakukan aktivitas lainnya. Kok jadi ngomongin diri sendiri? Aha, Leslie tampil begitu menggemaskan, mengagumkan, dan mencipta sensasi tersendiri. Memandangnya, mendadak saya ingat pada wajah Keira Knightley sewaktu kecilnya, mirip sekali, bahkan juga sifat-sifatnya. Apa mereka bersaudara? I dunno well, sayang sekali kelincahannya ditutup secara dramatis, tragis sekaligus ironis. Dia meninggal dalam permainan, sementara Jess pergi ke museum. Anehnya, saya juga merasakan kehilangannya sebagai teman secara mendadak. Entah, sensasi apa ini. Apakah ini isyarat bahwa saya juga ditinggal pergi? Walah-walah, sebuah persahabatan yang indah akhirnya ditutup secara mengenaskan. Bayangan saya, mungkin sekali film ini ingin menegaskan, khususnya pada anak-anak bahwa kematian sahabat bukanlah kesalahan kita sendiri. Melainkan, sudah seharusnya ia pergi. Kepergian mereka merupakan suatu takdir yang harus diterima. Dan, meskipun mereka telah tiada namun kenangan-kenangannya tidak akan pupus ditelan waktu. Oke, terkait dengan nilai filosofis, ada beberapa yang terlontar dari Leslie, seperti biarkan pikiranmu terbuka. Namun, ada juga yang terkesan dangkal. Seperti halnya sewaktu mereka berbincang tentang alkitab, yesus, dan neraka. Penolakan Leslie akan nilai alkitab dan neraka sebenarnya bisa memancing diskusi lebih lanjut. Namun, perbincangan ini terputus begitu saja tanpa ada kelanjutan. Lebih baik jika ditiadakan saja seharusnya.

The Painted Veil merupakan film ironi tentang kehidupan suami istri yang banyak terjadi dalam kehidupan modern saat ini. Sebuah intrik ketidakcocokan yang bisa berujung pada banyak hal, seperti saling diam, perceraian, atau bahkan pembunuhan. Jalan apakah yang mereka pilih dan kenapa mereka memilihnya? Naomi Watts (maaf lupa nama di filmnya) menikah dengan Edward Norton (ini juga lupa, hehe….) bukan atas dasar cinta, melainkan karena hendak pergi dari ibunya di London. Seusai menikah, mereka langsung tinggal di daerah Shanghai pedalaman karena Edward bekerja sebagai ahli mikrobiologi di suatu instansi pemerintahan di sana. Sebagai istri setia, Naomi manut-manut wae tinggal dimanapun, bahkan di tempat yang agak kumuh. Anehnya, semakin hari hubungan di antara mereka sebagai suami istri semakin aneh dan aneh. Edward tidak hendak berbicara jika tidak bertanya, sementara Naomi tidak tahan didiamkan, mencari keasyikannya sendiri, tapi tetap tidak bisa. Ia butuh perhatian, kasih sayang, hiburan, dan permainan. Ia belum mendapatkannya dari suaminya. Tak pelak, ketika ada seorang lelaki yang menawarinya, ia terjatuh dalam perselingkuhan yang membelenggu. Sang suami yang tahu pura-pura tidak tahu menahu. Dalam suatu pertengkaran dahsyat, akhirnya mereka bersepakat untuk pergi ke suatu wilayah epidemi kolera dengan tujuan selain membantu para korban juga menjauhkan Naomi dari selingkuhannya. Tapi sama saja, kehidupan pernikahan mereka tetap hambar. Bahkan makin menjadi-jadi. Sebuah hubungan yang tiada artinya. Dalam malam yang menentukan mereka berusaha mendobrak pintu penyekat selama ini. Kenapa sepertinya susah dipahami, padahal Naomi hanya seorang wanita biasa yang tidak hendak menjadi hebat. Begitu pula, Edward yang selama ini tidak mau mengerti hal sepele yang menjadi keinginan wanita. Lambat laun, hubungan mereka makin akrab dan sepaham. Puncaknya, Naomi hamil diiringi dengan kematian Edward yang ternyata terjangkit kolera. Film ini memberikan banyak pelajaran terkait dengan kekuatan hati, cinta, dan kasih sayang serta bagaimana menjalin dan mempertahankan sebuah hubungan. Sebagai suami istri hubungan memang lebih rentan, tapi bagaimana sikap saling mengerti, perhatian, dan seiring sejalan akan mampu menyatukan keduanya dalam payung rumah tangga.

Terus, selanjutnya apa hubungannya dengan hari Pahlawan? Temukan jawabannya dalam Hari Pahlawan and The Movie Part II.

Read More......

Nasionalisme dan Rakyat Aceh

17 November 2007
Sewaktu masih duduk di bangku SD, saya suka sekali mengikuti pelajaran kesenian. Bukan karena gurunya, melainkan karena ada kegiatan menyanyi bersama-sama. Seringkali saya sendirian disuruh maju di depan kelas untuk bernyanyi sendirian dan saya dengan pede-nya maju, lalu dengan lantang bernyanyi. Bermacam-macam lagu diajarkan waktu itu. Namun, kebanyakan tentang lagu perjuangan. Saya masih ingat benar – sebab buku catatan saya sewaktu SD juga masih tersimpan dalam kondisi bagus – lagu-lagu karangan Gesang seperti Jembatan Merah, Kusbini seperti Maju Tak Gentar, Ismail Marzuki untuk Rayuan Pulau Kelapa atau Titiek Puspa macam Pahlawan Merdeka selalu berkumandang di kelas sewaktu pelajaran ini. Dan, entah kenapa perasaan saya waktu itu benar-benar menggebu-gebu seolah-olah Indonesia memang seindah lagu-lagu itu.

Ketika menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa, misalnya saya membayangkan berada pada suatu tempat nan permai, penuh dengan pohon kelapa yang dedaunannya bergoyang seirama semilirnya angin. Pantai pasir putihnya menambah keindahan pemandangan alam imajinatif saya ini. Plus, nuansa ombak biru yang tenang menampari bibir pantai berpadu dengan burung-burung camar yang terbang mencari mangsa. Ah, sungguh rasanya indah sekali kesan yang saya dapatkan. Padahal hingga kelas 6 SD, saya belum pernah bermain-main di pantai yang ada pasir putihnya. Namun, melalui lagu tersebut, kesan saya pada pantai benar-benar melekat dengan erat. Bahkan tanpa perlu mengunjunginya. Aneh bukan? Saya waktu itu pernah berkunjung ke Pantai Popoh, tapi sayang tidak berpasir, melainkan diberi benteng-benteng yang dibangun dari batu sehingga pengunjung tidak bisa bermain-main bebas dengan ombaknya. Alasannya, pantai terkena dampak abrasi yang cukup parah. Alasan yang lainnya, pantainya tidak cukup bagus kondisinya. Alasan terakhir, ombaknya cukup keras dan berbahaya.

Tapi dari semua lagu, saya cukup terkesan dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke yang bernuansa mars nan menghentak. Menyanyikannya bersama-sama, saya membayangkan daerah Sabang yang berada entah dimana – pokoknya di dekat Aceh – dan Merauke, saya ingat ini nama sebuah kota di Irian Jaya [nama popular sewaktu SD dulu, jauh sebelum kenal dengan Papua]. Saya pikir, dulu Sabang merupakan nama sebuah daerah nun jauh di sana [Tiba-tiba ingat lagu Nun Jauh Dimana yang bernada mendayu-dayu] dan berbeda dengan Aceh. Belakangan ketika membuka atlas, barulah saya tahu sejarahnya. Yup, Sabang sampai Merauke menceritakan bentangan alam negeri Indonesia mulai dari daerah yang paling barat hingga timur. Maaf, saya lupa bujur maupun lintangnya. Kalau waktu SD saya ingat sekali posisi koordinat batas-batas Indonesia dari empat mata angin, bahkan sempat menjadi pertanyaan sewaktu mengikuti Lomba Cerdas Cermat IPS/PPKn yang mengantarkan saya sebagai juara II untuk tingkat kabupaten.

Aha, lagu yang saya nyanyikan dengan bersemangat ini ternyata punya sejuta makna dan arti. Ternyata, kedua daerah yang letaknya berjauhan dengan jarak lebih dari tiga kali panjang Pulau Jawa [sekitar 1000 km] ini malah daerah yang rawan dengan konflik. Kesan permai yang saya dapatkan dengan lagu-lagu di atas, mendadak hilang seiring kedewasaan saya dalam menangkap segala kondisi dan situasi. Ternyata, pemicunya tidak main-main. Sebuah sejarah yang apabila dirunut akan menjadi panjang dan berlarut-larut. Sebuah faktor yang jelas sekali akan melibatkan banyak korban nyawa, harta, benda, dan politik serta kemanusiaan. Dengan pemantik yang berdampak sangat luas.

Ihwalnya, pada 1926, seorang wartawan Batavia bernama Adi Negoro menulis tentang pelbagai daerah, mulai dari Singapura, Colombo, Aden, Port Said, Marseille, dan Gibraltar, dalam sebuah buku bertajuk Melawat ke Barat. Dalam persinggahannya naik kapal Tambora – diambil dari nama Gunung di kepulauan Nusa Tenggara dan pernah meletus dengan sangat dahsyat melebihi Krakatau pada abad antara 17-18-an – ia mampir di daerah Sabang. Ia lalu membandingkan kondisi tempat itu dengan Singapura, salah satu kota pelabuhan yang saat ini menjadi paling modern dan paling besar di dunia. Menurutnya, Belanda telah menguasai Sabang sejak 1887. Sebuah perusahaan, Sabang Maatschappij, diberikan wewenang untuk mengelola pelabuhan bebas tersebut, sekaligus membangun dermaganya antara 1896 dan 1911. Pelabuhan itu dilengkapi dengan dok perbaikan kapal seberat 2.600 ton plus empat derek raksasa yang berfungsi untuk menaikkan batubara ke kapal yang berhenti di Sabang, dari Eropa, Cina, Jepang, Singapura, ataupun Batavia. Pada 1924, perusahaan ini membangun dok lagi, seberat 5.000 ton untuk meningkatkan kapasitas perbaikan kapal. Sayangnya, dalam buku tersebut tidak diungkapkan alasan pembangunan besar-besaran yang dilakukan Belanda sebenarnya hanyalah kedok yang dibuat agar rakyat Aceh menjadi jinak dan patuh. Pendudukan Belanda terjadi antara 1876 dan 1904. Saat ini, kondisi Sabang benar-benar memprihatinkan, jika dahulu total panjang dermaga 2.700 meter, sekarang hanya tinggal 572 meter saja.

Penguasaan Belanda atas Aceh sebenarnya dipicu sejak lama, ketika pecah Traktat London, sebuah perjanjian yang ditanda tangani Kerajaan Inggris dan Belanda pada 1824. Perjanjian itu menyepakati : Semenanjung Malaya untuk Inggris dan Pulau Sumatera untuk Belanda. Namun kemudian, problema perdagangan di Sumatera jadi bahan debat sebab Inggris curiga kepada Belanda yang menghalangi perdagangannya ke wilayah itu. Kebetulan, waktu itu Aceh menguasai pasaran rempah-rempah. Karena Belanda kuatir diplomasi Aceh terhadap negara barat semakin gencar, perjanjian baru Inggris-Belanda diluncurkan pada 1871 yang intinya memberikan kekuasaan lebih banyak bagi Belanda dalam menguasai Aceh. Selanjutnya, Belanda menyerbu Kesultanan Aceh dan menguasai negeri itu dengan cepat, namun rakyat Aceh sudah siap dengan model gerilya yang merepotkan Belanda. Karena itulah, ditugaskanlah seorang professor kajian Islam di Universitas Leiden, Snouck Hurgronje, untuk meneliti kondisi Aceh yang sebenarnya. [Saya telah baca sebagian biografi professor ini dalam majalah Intisari plus foto dirinya bersama beberapa rakyat Aceh]. Professor ini menghasilkan ulasan mengenai Aceh berikut strategi yang digunakan untuk melawan mereka. Sayang sekali, meskipun J. B. Van Heutsz, gubernur militer di Aceh, sudah melancarkan beberapa strategi, tetap saja kondisinya menyulitkan. Baru, setelah Tuanku Muhamat Dawot menyerahkan Aceh pada Belanda pada 1903, Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh setahun sesudahnya, 1904. Seusai Perang Dunia II, Belanda yang menyerah pada Jepang, menyerahkan wilayah ini sepenuhnya kepada Republik Indonesia – disambut sengit rakyat Aceh yang menganggap penyerahan ini tak berdasar. Bagaimana mungkin orang yang tak punya hak menyerahkan wilayahnya pada orang lain yang juga tak punya hak? Maka, Daud Beureuh yang terkenal dengan pemberontakannya – sebelumnya ia sangat mendukung RI, bahkan turut menggerakkan rakyat Aceh untuk menyumbang RI dua buah pesawat dengan balasan otonomi – pada 1953. Ketika tahun 1961 Aceh diberi sebutan istimewa alias otonomi khusus, Beureuh menghentikan perlawanannya.

Namun, bibit-bibit separatisme sudah telanjur meluas. Hasan Tiro, cucu Teuku Cik Ditiro – pahlawan nasional Indonesia, tidak puas dengan kondisi ini. Dari dirinyalah, ia menggerakkan organisasi dalam bentuk perlawanan bawah tanah terhadap RI, melalui medianya, GAM [Gerakan Aceh Merdeka] kepada rakyat Aceh. Ia juga memperkenalkan konsep baru dalam memandang sebuah bangsa, ‘bangsa Aceh’ yang terdengar aneh di telinga dan diversuskan dengan ‘bangsa Indonesia’. Hasan Tiro kemudian memproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Bahkan pada 1979, ia sudah berhasil membentuk sebuah organisasi kebangsaan Aceh, mendirikan pemerintahan bayangan, dan menunjuk pejabat-pejabat di cukup banyak daerah Aceh. Kondisi Aceh yang semakin panas, memaksa diberlakukannya darurat militer oleh presiden Soeharto – sebuah kebijakan yang cukup popular seiring meningkatnya isu kebangsaan di tanah air. Tentara nasional diterjunkan di daerah tersebut agar mampu memberangus gerakan separatis itu. Operasi yang meliputi pengintaian, kegiatan mata-mata, pos pemeriksaan, jam malam, penggeledahan rumah, dan penangkapan secara besar-besaran ini sudah menewaskan banyak orang Aceh hingga mencapai 10.000 orang. Rumah-rumah Aceh dibakar, para wanita dijadikan sandera atau dilecehkan secara seksual. Antara 1989 hingga 1990, organisasi hak asasi manusia melaporkan banyak sekali terjadi kondisi ini.

Dosen UGM, Ibrahim Alfian, mengatakan Aceh merupakan bagian sah dari bangsa Indonesia. Dikatakannya, “Berdasar Maklumat Ulama Seluruh Aceh tertanggal 15 Oktober 1945, wilayah Aceh sejak itu telah dinyatakan ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kalau sekarang ada yang ingin merdeka dan mencoba memisahkan diri, seperti yang dia lakukan, mereka jelas tidak tahu sejarah. Menurut masyarakt Aceh, mereka yang mengabaikan serua para ulama diberi istilah pengkhianat, tidak bisa lain.” Pernyataan ini dimuat pada harian Kompas. Ia juga mempertanyakan integritas Hasan Tiro, yang menurutnya kurang bisa dipercaya sosok yang menikah dengan perempuan asing. Perlu diketahui, Hasan Tiro memiliki istri asing ketika ia lulus kuliah dari Columbia University dan sempat tinggal di New York. Selanjutnya, berencana bergabung dengan Exxon Mobil, perusahaan Amerika yang mengelola gas alam Aceh, namun malas berunding dengan Jakarta sehingga ia membangun organisasinya sendiri yang ternyata berkembang menjadi gerakan pemberontakan, GAM. {Artikel di atas diringkas dari artikel berjudul Republik Indonesia Kilometer Nol, karya Andreas Harsono, dimuat di majalah Pantau edisi Desember 2003].

Jika saat ini ditanya tentang nasionalisme, mungkin sekali rakyat Aceh masih akan meraba-raba makna maupun artinya dalam kehidupan mereka. Seusai Referendum yang dilakukan waktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sisa-sisa separatis masih tampak, walaupun belum semenonjol dahulu. Sesungguhnya, orang Aceh tidak membutuhkan janji muluk-muluk apalagi hingga merepresi, namun yang diperlukan adalah seperangkat hukum, yang tidak memberikan kekebalan, yang bisa mengadili tentara, pejabat, koruptor, atas berbagai kejahatan atau pelanggaran hak asasi yang mereka lakukan – sesuai dengan ajaran Al Quran yang sangat menekankan keadilan. Pemberian system hukum syariah yang tanpa makna seolah-olah menafikan keberadaan sesungguhnya yang diderita rakyat Aceh. Seperti pemberian permen pada anak kecil yang sebenarnya menginginkan segelas susu. Permen hanya akan memberikan sensasi sekilas yang cukup menyenangkan sesudah itu mereka akan sakit gigi. Beda halnya dengan susu yang memberikan efek menyehatkan terhadap perkembangan dan pertumbuhan badan anak kecil.

Ah, aku kuatir apabila lagu Sabang sampai Merauke itu hanyalah sebuah lagu yang tanpa makna maupun arti. Hanyalah sebuah lagu yang jika dinyanyikan sebatas formalitas belaka yang kehilangan greget, apalagi esensinya. Bagaimana generasi penerus bangsa akan bisa belajar mencintai bangsanya sendiri jika lagu tentang kecintaan tidak dinyanyikan sepenuh hati, bahkan tidak mencerminkan kondisi yang tengah terjadi. Biarlah, nasionalisme dan rakyat Aceh akan menemukan maknanya sendiri melalui pencarian jati diri, bentuk, dan kontemplasinya dalam tanah air.

Read More......